Rabu, 07 Maret 2018

Tingkat Analisa Metodologi Ilmu Hubungan Internasional (Mohtar Mas'oed)



Makna Tingkat Analis


Tantangan awal yang dihadapi analisis hubungan internasional, yaitu keharusan menemukan sasaran analisa yang tepat, yaitu: persoalan memilih dari berbagai kemungkinan tingkat analisis. Dalam memilih tingkat analisis, kita menetapkan “unit analisa,” yaitu yang perilakunya yang hendak kita deskripsikan, jelaskan dan ramalkan ( karena itu juga bisa disebut “variable dependen”); dan unit eksplanasi,” yaitu yang dampaknya terhadap unit analisis hendak kita amati (bisa juga disebut “variable independen”.[1]
            Jadi, masalah lain yang dihadapi analisis antara lain adalah persoalan menetapkan apa yang harus ditelaah atau diamati dalam mempelajari hubungan internasional; yaitu apa yang harus dipakai sebagai unit eksplanasi, dan pada tingkat mana analisis harus ditekankan. Tentu saja kita tidak bisa menelaah segala segi hubungan internasional, sebab secara fisikm tidak mugkin. Seperti yang dikatakan oleh J. David Singer, dalam ilmu apapun ada keharusan untuk memilih sasaran analisisa yang tertentu:
            Dalam setiap bidang kegiatan keilmuan, selalu terdapat berbagai cara memilah-memilih dan mengatur fenomena yang dipelajari demi analisis yang sistematik. Baik ilmu fisik maupun ilmu sosial, pengamat harus memilih pusat perhatian, pada bagian-bagiannya atau pada keseluruhan fenomena itu, pada komponennya atau pada sistemnya. Misalnya, ia bisa memilih mau memperhatikan bunga atau kebunnya, pohon atau hutannya, rumah atau kampungnya, remaja nakal atau kelompok gangnya, anggota DPR atau parlemennya dan sebagainya.[2]
            Dalam analogi Singer ini, kita bisa katakan bahwa dalam hubungan internasional bisa pelajari “bagian” (yaitu bunga/pohon/rumah/remaja/remaja nakal/anggota DPR), atau pindah gingkat analisis dan mempelajarai “keseluruhan” (yaitu, kebun/hutan/kampong/kelompok gang/parlemen). Dengan pendekatan pertama, kita mempelajari politik dalam negeri suatu negara yang mempengaruhi para pembuat keputusan dalam memilih berbagai alternatif untuk membuat politik luar negeri negara itu. Dengan pendekatan kedua, kita mempelajari sistem internasional yang merupakan lingkungan besar yang memperngaruhi proses pembuatan keputusan tersebut, dan dengan demikian bisa membantu para pembuatan keputusan dalam menentukan alternative-alternatif apa yang mau diambil.
            Mengapa tingkat analisis dianggap penting? Mengapa kita harus memperhatikan tingkat analisa? Pertama, untuk menjelaskan suatu peristiwa internasioanl, misalnya tindakan eksternal suatu negara (biasanya di anggap sebagai actor utama dalam hubungan internasional), terdapat lebih dari satu faktor yang punya kemungkinan menyebabkannya, mulai perilaku individual pemimpin, perilaku kelompok, karateristik negara itu sendiri, hubungannya dengan beberapa negara dalam lingkungan regional, sampai struktur hubungan pada tingkat global.
            Kedua, kerangka berfikir pada tingkat analisa membantu kita memilah-milah faktor mana yang harus paling banyak ditekankan. Kerangka ini juga menunjukkan bahwa pada tingkat yang penting pada suatu situasi mungkin tidak penting pada situasi lain. Misalnya perubahan rezim di Iran pada akhir 1970-an mungkin bisa dijelaskan secara memuaskan dengan tingkat analisa individu, yaitu perilaku Imam Khomeini; tetapi perubahan rezim di Filipina pada pertengahan 1980-an mungkin tidak bisa dijelaskan dengan sama memuaskannya dengan menelaah perilaku Nyonya Aquino.
            Ketiga, kerangka tingkat analisa memungkinkan kita untuk memilah-milah mana dampak dari sekumpulan faktor tertentu terhadap suatu fenomena dan mana dampak dari kumpulan faktor lain terhadap fenomena itu; dan kemudian memperbandingkan dampak dari kedua kelompok faktor yang berbeda itu. Sehingga untuk fenomena yang sama kita memperoleh beberapa penjelasan alternatif.
            Keempat, kita harus peka terhadap tingkat analisa karena adanya kemungkinan kita melakukan kesalahan metodologis yang disebut fallacy of composition dan ecological fallacy. Yang pertama adalah kesalahan akibat berasumsi bahwa generalisasi tentang perilaku “bagian” bisa juga dipakai untuk menjelaskan “keseluruhan”. Contohnya adalah pendapat Hans J. Morgenthau bahwa manusia secara individual selalu mengejar power tanpa henti, suatu pendapat yang juga dianut oleh Thomas Hobbes dan filosof-filosof lain. Berdasar itu Morgenthau membuat kesimpulan bahwa semua negarawan yang bertindak atas nama negaranya mendefinisikan kepentinga negaranya dalam pengertian power dan bisa diasumsikan bahwa para negarawan itu selalu siap memperbesar “power” tanpa henti sampai ada kekuatan lain yang bisa menandinginya. Ini adalah penarikan kesimpulan yang salah. Begitu juga, walaupun semua orang disuatu negara “cinta damai”, kita tidak bisa membuat kesimpulan bahwa negara itu sendiri juga “cinta damai”. Contoh lain tentang kesalahan ini adalah asumsi bahwa tujuan ASEAN adalah sama dengan penjumlahan tujuan-tujuan negara anggotanya.

            Kesalahan kedua, ecological fallacy adalah kesalahan akibat memakai generalisasi yang ditarik pada tingkat “keseluruhan” untuk menjelaskan tingkat “bagian”. Kalau kita menemukan negara-negara kaya membelanjakan lebih banyak negara-negara sumber dayanya untuk program pertahanan, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa individu-individu yang kaya juga berbuat sama. Kita juga tidak bisa berasumsi bahwa selama periode yang penuh kekerasan dalam hubungan internasional lebih banyak orang terlibat dalam tindak kekerasan. Kesalahan-kesalahan seperti ini bisa kita hindarkan kalau kita sadar pada tingkat analisa mana yang kita melakukan penelitian.
            Kalau kita hendak menjelaskan suatu kejadian, misalnya politik konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia, kita bisa melakukannya dari tiga kemungkinan perspektif. Pertama, kita bisa menjelaskan bahwa yang dilakukan Indonesia (unit analisis negara-bangsa) sebenarnya hanyalah sekedar memberikan tanggapan apa yang terjadi dalam konteks sistem internasional-regional atau sistem internasional. Asumsinya, negara-bangsa adalah unit yang perilakunya sekadar menanggapi apa yang terjadi dalam konteks yang lebih besar itu. Jadi, unit eksplanasinya adalah sistem internasional-regional atau sistem global.
            Kemungkinan kedua, kita bisa menjelaskan politik konfrontasi Indonesia itu sebagai akibat dari karakteristik proses pembuatan keputusan. Disini, unit analisa dan unit eksplanasinya sama, yaitu negara-bangsa.
            Ketiga, kita bisa menjelaskan perilaku konfliktual itu sebagai akibat dari perilaku individual Presiden Soekarno atau sebagai hasil dari persaingan antara PKI dan Angkatan Darat. Dengan demikian, unit analisanya adalah negara, sedang unit eksplanasinya adalah perilaku individu atau kelompok. Perspektif pertama, yaitu yang unit eksplanasinya “lebih tinggi” dibanding tingkat analisanya, disebut analisa induksionis. Perspektif kedua yang unit analisanya dan unit eksplanasinya sama disebut analisa korelasionis. Sedangkan perspektif ketiga, dimana unit eksplanasinya “lebih rendah” dibanding dengan unit analisanya disebut analisis reduksionis.




[1] Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi (PT Pustaka LP3ES Indonesia, 1990) Hal : 36.
[2] J. David Singer, The Level – of – Analysis Problem In International Relations, “World Politics, Vol. 14, No. 1 ( Oktober 1961)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Omicron menyebar : Para Epidemiologi : Jakarta Terancam

Ilmu Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang pola penyebaran penyakit atau kejadian yang berhubungan dengan kesehatan,...