Makna Tingkat
Analis
Tantangan awal yang
dihadapi analisis hubungan internasional, yaitu keharusan menemukan sasaran
analisa yang tepat, yaitu: persoalan memilih dari berbagai kemungkinan tingkat
analisis. Dalam memilih tingkat analisis, kita menetapkan “unit analisa,” yaitu
yang perilakunya yang hendak kita deskripsikan, jelaskan dan ramalkan ( karena
itu juga bisa disebut “variable dependen”); dan unit eksplanasi,” yaitu yang
dampaknya terhadap unit analisis hendak kita amati (bisa juga disebut “variable
independen”.[1]
Jadi, masalah lain yang dihadapi analisis
antara lain adalah persoalan menetapkan apa
yang harus ditelaah atau diamati dalam mempelajari hubungan internasional;
yaitu apa yang harus dipakai sebagai unit eksplanasi, dan pada tingkat mana analisis
harus ditekankan. Tentu saja kita tidak bisa menelaah segala segi hubungan
internasional, sebab secara fisikm tidak mugkin. Seperti yang dikatakan oleh J.
David Singer, dalam ilmu apapun ada keharusan untuk memilih sasaran analisisa
yang tertentu:
Dalam
setiap bidang kegiatan keilmuan, selalu terdapat berbagai cara memilah-memilih
dan mengatur fenomena yang dipelajari demi analisis yang sistematik. Baik ilmu
fisik maupun ilmu sosial, pengamat harus memilih pusat perhatian, pada
bagian-bagiannya atau pada keseluruhan fenomena itu, pada komponennya atau pada
sistemnya. Misalnya, ia bisa memilih mau memperhatikan bunga atau kebunnya,
pohon atau hutannya, rumah atau kampungnya, remaja nakal atau kelompok gangnya,
anggota DPR atau parlemennya dan sebagainya.[2]
Dalam
analogi Singer ini, kita bisa katakan bahwa dalam hubungan internasional bisa
pelajari “bagian” (yaitu bunga/pohon/rumah/remaja/remaja nakal/anggota DPR),
atau pindah gingkat analisis dan mempelajarai “keseluruhan” (yaitu,
kebun/hutan/kampong/kelompok gang/parlemen). Dengan pendekatan pertama, kita
mempelajari politik dalam negeri suatu negara yang mempengaruhi para pembuat
keputusan dalam memilih berbagai alternatif untuk membuat politik luar negeri
negara itu. Dengan pendekatan kedua, kita mempelajari sistem internasional yang
merupakan lingkungan besar yang memperngaruhi proses pembuatan keputusan
tersebut, dan dengan demikian bisa membantu para pembuatan keputusan dalam
menentukan alternative-alternatif apa yang mau diambil.
Mengapa tingkat analisis dianggap
penting? Mengapa kita harus memperhatikan tingkat analisa? Pertama, untuk menjelaskan suatu peristiwa internasioanl, misalnya
tindakan eksternal suatu negara (biasanya di anggap sebagai actor utama dalam
hubungan internasional), terdapat lebih dari satu faktor yang punya kemungkinan
menyebabkannya, mulai perilaku individual pemimpin, perilaku kelompok,
karateristik negara itu sendiri, hubungannya dengan beberapa negara dalam
lingkungan regional, sampai struktur hubungan pada tingkat global.
Kedua,
kerangka berfikir pada tingkat analisa membantu kita memilah-milah faktor mana
yang harus paling banyak ditekankan. Kerangka ini juga menunjukkan bahwa pada
tingkat yang penting pada suatu situasi mungkin tidak penting pada situasi
lain. Misalnya perubahan rezim di Iran pada akhir 1970-an mungkin bisa
dijelaskan secara memuaskan dengan tingkat analisa individu, yaitu perilaku
Imam Khomeini; tetapi perubahan rezim di Filipina pada pertengahan 1980-an
mungkin tidak bisa dijelaskan dengan sama memuaskannya dengan menelaah perilaku
Nyonya Aquino.
Ketiga,
kerangka tingkat analisa memungkinkan kita untuk memilah-milah mana dampak dari
sekumpulan faktor tertentu terhadap suatu fenomena dan mana dampak dari
kumpulan faktor lain terhadap fenomena itu; dan kemudian memperbandingkan
dampak dari kedua kelompok faktor yang berbeda itu. Sehingga untuk fenomena
yang sama kita memperoleh beberapa penjelasan alternatif.
Keempat,
kita harus peka terhadap tingkat analisa karena adanya kemungkinan kita
melakukan kesalahan metodologis yang disebut fallacy of composition dan ecological fallacy. Yang pertama adalah
kesalahan akibat berasumsi bahwa generalisasi tentang perilaku “bagian” bisa
juga dipakai untuk menjelaskan “keseluruhan”. Contohnya adalah pendapat Hans J.
Morgenthau bahwa manusia secara individual selalu mengejar power tanpa henti,
suatu pendapat yang juga dianut oleh Thomas Hobbes dan filosof-filosof lain.
Berdasar itu Morgenthau membuat kesimpulan bahwa semua negarawan yang bertindak
atas nama negaranya mendefinisikan kepentinga negaranya dalam pengertian power
dan bisa diasumsikan bahwa para negarawan itu selalu siap memperbesar “power”
tanpa henti sampai ada kekuatan lain yang bisa menandinginya. Ini adalah
penarikan kesimpulan yang salah. Begitu juga, walaupun semua orang disuatu
negara “cinta damai”, kita tidak bisa membuat kesimpulan bahwa negara itu
sendiri juga “cinta damai”. Contoh lain tentang kesalahan ini adalah asumsi
bahwa tujuan ASEAN adalah sama dengan penjumlahan tujuan-tujuan negara
anggotanya.
Kesalahan kedua, ecological fallacy adalah kesalahan
akibat memakai generalisasi yang ditarik pada tingkat “keseluruhan” untuk
menjelaskan tingkat “bagian”. Kalau kita menemukan negara-negara kaya
membelanjakan lebih banyak negara-negara sumber dayanya untuk program
pertahanan, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa individu-individu yang kaya juga
berbuat sama. Kita juga tidak bisa berasumsi bahwa selama periode yang penuh
kekerasan dalam hubungan internasional lebih banyak orang terlibat dalam tindak
kekerasan. Kesalahan-kesalahan seperti ini bisa kita hindarkan kalau kita sadar
pada tingkat analisa mana yang kita melakukan penelitian.
Kalau kita hendak menjelaskan suatu
kejadian, misalnya politik konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia, kita bisa
melakukannya dari tiga kemungkinan perspektif. Pertama, kita bisa menjelaskan bahwa yang dilakukan Indonesia (unit
analisis negara-bangsa) sebenarnya hanyalah sekedar memberikan tanggapan apa
yang terjadi dalam konteks sistem internasional-regional atau sistem
internasional. Asumsinya, negara-bangsa adalah unit yang perilakunya sekadar menanggapi
apa yang terjadi dalam konteks yang lebih besar itu. Jadi, unit eksplanasinya
adalah sistem internasional-regional atau sistem global.
Kemungkinan kedua, kita bisa menjelaskan politik konfrontasi Indonesia itu
sebagai akibat dari karakteristik proses pembuatan keputusan. Disini, unit
analisa dan unit eksplanasinya sama, yaitu negara-bangsa.
Ketiga,
kita bisa menjelaskan perilaku konfliktual itu sebagai akibat dari perilaku
individual Presiden Soekarno atau sebagai hasil dari persaingan antara PKI dan
Angkatan Darat. Dengan demikian, unit analisanya adalah negara, sedang unit
eksplanasinya adalah perilaku individu atau kelompok. Perspektif pertama, yaitu
yang unit eksplanasinya “lebih tinggi” dibanding tingkat analisanya, disebut
analisa induksionis. Perspektif kedua yang unit analisanya dan unit
eksplanasinya sama disebut analisa korelasionis. Sedangkan perspektif ketiga,
dimana unit eksplanasinya “lebih rendah” dibanding dengan unit analisanya
disebut analisis reduksionis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar