BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dilihat dari praktik
Nabi Muhammad SAW mendirikan dan memimpin Negara Madinah, dapat disimpulkan
bahwa keberadaan sebuah negara adalah penting bagi umat Islam. Dengan adanya
negara, maka wahyu-wahyu Allah akan diterapkan secara efektif dalam ruang dan
waktu, sehingga terciptalah kebahagian, ketentraman, dan keharmonisan kehidupan
manusia. Namun negara bukanlah tujuan bagi Islam, melainkan hanya sebagai alat
untuk mencapai tujuan tersebut. Agaknya, disinilah relevansi kebijakan Nabi
Muhammad SAW yang tidak menyebutkan Islam sebagai agama negara dalam Konstitusi
Madinah yang sama sekali tidak menyinggung tentang agama negara.
Hal ini merupakan
isyarat bahwa dalam soal kenegaraan dan pemerintah, Nabi Muhammad SAW tidak
memberikan ketentuan dan peraturan yang baku dan mutlak harus diikuti oleh
umatnya. Beliau hanya menggariskan perinsip dasar yang harus dilaksanakan,
sedangkan formulasinya dan hal lainnya yang bersifat teknis diserahkan
sepenuhnya kepada umat Islam. Inilah sebabnya Nabi tidak menunjuk penggantinya
setelah beliau wafat, karena masalah suksesi kepemimpinan ini juga merupakan
teknis. Jika beliau menunjuk siapa penggantinya, maka boleh jadi hal ini akan
kesan hal yang beliau lakukan harus diikuti oleh umat (al-Sunnah
al-muttaba’ah).[1]
1.2
Rumusan Masalah
1) Bagaimana pemikiran politik sunni?
2) Bagaimana
pemikiran politik Syi’ah?
3) Bagaimana
pemikiran politik Khawarij?
4) Bagaimana
pemikiran politik Mu’tazilah?
1.2
Tujuan
1. Mampu memahami dan menjelaskan pemikiran politik
sunni.
2. Mampu memahami dan menjelaskan pemikiran politik
Syi’ah
3. Mampu memahami dan menjelaskan pemikiran politik
Khawarij
4. Mampu memahami dan menjelaskan pemikiran politik
Mu’tazilah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemikiran
Politik Sunni
Di kalangan pemikir Sunni terdapat
pandangan bahwa pembentukan negara merupakan kewajiban. Menurut Al-Mawardi,
Negara (imamah ) di bentuk dalam rangka menggantikan posisi kenabian (nubuwwah)
dalam rangka melindungi agama dan mengatur kehidupan dunia (al-imamah
maudhu'atun li khilafat al-nubuwwah fi hirasat al-din wa siyasat al-dunya).
Menurut al-Mawardi imamah (kepemimpinan,
negara) hukumnya adalah Fardu
Kifayah berdasarkan ijma’ ulama. Pandangan ini di dasarkan pada realitas
sejarah al-khulafa al-rasyidin dan para khalifah sesudah mereka, baik bani
umaiyah maupun Bani Abbas, yang merupakan lambang kesatuan politk umat islam
ketika itu. Pandangan al-Mawardi ini juga sejalan dengan dengan kaidah ushul
fiqh ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib (suatu kewajiban tidak
sempurna terpenuhi kecuali melalui sarana atau alat, maka sarana atau alat
tersebut juga wajib dipenuhi). Artinya, menciptakan dan memelihara kemaslahatan
adalah kewajiban ummat islam, sedangkan sarana atau alat untuk terciptanya
kemaslahatan tersebut adalah negara, maka mendirikan negara juga wajib (fardhu
kifayah) . Pendapat al-Mawardi di atas juga sejalan dengan pemikiran
al-Ghazali. Menurut al-Ghazali, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup
tanpa bantuan orang lain.
Disinilah
perlunya mereka hidup bermahsyarakat dan bernegara. Namun demikian, imam
Ghazali menjelaskan bahwa pembentukan negara bukan hanya untuk memenuhi
kebutuhan praktis duniawi, malinkan juga untuk persiapan bagi kehidupan akhirat
kelak. Berdasarkan pandangan al-Ghazali berpendapat bahwa kewajiban pembentukan
negara dan pemilihan kepala negara bukanlah berdasarkan pertimbangan atau
rasio, melainkan berdasarkan kewajiban agama(syar’i) hal ini dikarenakan bahwa
kesejahteraan dan kebahagiaan akhirat tidak tercapai tanpa pengalaman dan
pengahayatan agama secara benar. Al-Ghazali menyatakan bahwa agama dan
negara(pemimpin negara) bagaikan dua saudara kembar yang lahir dari rahim
seorang ibu. Keduanya saling melangkapi.
Dalam teorinya, al-Ghazali merumuskan
bahwa agama adalah landasan atau basis bagi kehidupan manusia dan politik
adalah penjaganya, politik tanpa agama bisa hancur , sebaliknya agama tanpa
politik dapat hilang dalam kehidupan manusia. Berbeda dengan dua pemikir Sunni
di atas, Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa mengatur urusan ummat memang
merupaakn kewajiban agama yang terpenting, tetapi hal ini tidak berarti pula
bahwa agama tidak dapat hidup tanpa negara.
Ia lebih menggunakan pendekatan
Sosiologis. Menurutnya, kesejahteraan manusia tidak dapat tercapai kecuali
hanya dalam satu tatanan sosial dimana setiap orang saling berbantu dan
membutuhn antara satu dengan yang lainnya oleh sebab itu di bututhkan seorang
pemimpin yang akan mengatur kehidupan sosial tersebut. Bagi Ibnu Taimiyah,
penegakan institusi negara bukanlah atas dasar negara, melainkan hanya kebutuhan
praktis saja. Ia juga menekankan fungsi
negara untuk negara. Dalam kesempatan lain, Ibnu Taimiyah menyatan Bahwa
kesejahteraan ummat islam tidak mungkin dapat tercipta baik di dunia maupun di
akhirat kecuali melalui institusi negara.
Pada sisi lain, sebagai kelompok
mayoritas pola fikir kaum sunni biasanya sangat pro pada pemerintah yang
berkuasa (Status kuo). Pemikiran-pemikiran dari ahli-ahli politik Sunni
cendrung membela dan mempertahankan kekuasaan. Tidak jarang pula pemikiran
politik dan kenegaraan mereka mejadi alat Legitimasi bagi kekuasaan Khalifah
dan pemerintah. Kalangan ulama Sunni pada umumnya melarang rakyat (ummat islam)
melakukan pemberontakan kepada penguasa, walaupun dzalim. Penguasa yang lebih
baik dari pada tidak ada kepemimpinan dalam islam. Inbu taimiyyah bahkan
merumuskan bahwa 60 tahun berada di bawah Rezim penguasa yang dzolim lebih baik
dari pada sehari hidup tanpa pemimpin. Kalangan Sunni biasanya menggangap bahwa
kekuasaan kepala negara (Khalifah) berasal dari tuhan. Dalam sejarah islam,
yang pertama kali memperkenalkan dirinya sebagai khalifah (wakil) tuhan
dibuminya adalah Khalifah Abu Ja’far Al manshur dari bani Abbas. Pernyataan ini
menunjukkan bahwa Khalifah memerintah berdasarkan mandat tuhan. Kekuasaanya
adalah suci dan mutlak serta harus di patuhi, Khalifah adalah bayang-bayang
Allah di dunia (zil shi allah fi al-ardh).
Pandangan ini mendapat pembenaran dari
Ibnu Abi rabi’ pemikir Sunni yang hidup pada abad ke tiga Hijriyyah/9 M. Ibnu
Abi Rabi’ mencari dasar bagi Legitimasi keistimewaan hak-hak Khalifah atas
Rakyatnya dalam ajaran agama, yaitu surat Al-an’am 6:165 dan An-Nisa’ 4: 59.
Kedua ayat tersebut merupakan penegasan Allah bahwa ia telah memberi
keistimewaan kepada raja dengan segala keutamaan dan memeperkukuh kedudukan
mereka dibumiNya. Oleh sebab itu Allah mempercayakan kepada mereka untuk
memimpin hamba-hambanya yang lain. Di samping itu, Allah juga mewajibkan kepada
para ulamah untuk menghormati, mengagungkan, menaati perintah mereka.
Menurutnya, sumber kekusaan adalah Tuhan. Kemudian kekuasaan ini
dilimpahkan-Nya hanya kepada sebagian kecil hamba-Nya. Oleh sebab itu,
kekuasaan kepala Negara bersifat sakral ( muqaddas) dan umat harus mengikuti
kepala negara.
Pendapat tokoh-tokoh sunni menarik untuk
di cermati. Pada masa pemerintahan Al- Khulafa’ Al- Rasyidun, tidak ada wacana
bahwa khalifah adalah bayang-bayang Allah. Abu bakar sendiri, sebagai Khalifah
pertama umat islam, menolak di panggil dengan khalifatullah. Ia lebih senang di
panggil dengan khalifah Rasul Allah. Adapun Umar lebih senang di panggil dengan
amir Al-mu’minin ( pemimpin kaum beriman ). Berabad-abad sebelum kedatangan
rasulullah hampir seluruh dunia berkembang konsep penguasa sebagai wakil Tuhan
dibumi dan rakyatnya mengakui bahwa pengauasa mereka memiliki sifat-sifat
ketuhanan, seperti dimesir kuno, Assiria dan Iran. Akibatnya penguasa menganggap
kekuasaan mereka mutlak.
Dari beberapa pemikir Sunni konsep
khalifah sebagai Khaidim al-Ummah (pelayan umat) diubah menjadi bayang-bayang
Allah yang memilki kekuasaan yang besar dan luas. Pemikiran ini tidak terlepas
dari kepentingan politik para penguasa dalam mempertahankan supremasinya
terhadap rakyat. Sebagai konsekuesi dari kekuasaan kepala negara yang sakral
baik Ibn Abi Rabi’, Ibn Taimiyah maupun al-Ghazali berpendapat bahwa kepala
negara tidak dapat diturunkan dari jabatannya bahkan Ibn Taimiyah mengharamkan
umat Islam melakukan pemberontakan kepala negara. Berbeda dari tiga pemikir
diatas, al-mawardi (975-1058) berpendapat bahwa sumber kekuasaan kepala negara
adalah berdasakan perjanjian antara kepala negara dan rakyatnya. Ciri lain
pemikiran politik golongan Sunni adalah penekanan meereka terhadap Quraisy
sebagai syarat kepala negara. Pandangan mereka dilandasi pada hadist nabi saw
Ibn Abi Rabi’ ia tidak membahas persyaratan yang dilandasi pada hadist nabi
tersebut karena pada masa nya suku quraisy (Bani Abbas) sedang mencapai puncak
kekuasaannya.
Secara etimologis, kata Kekhalifahan
(Khalifah) berarti “ menggantikan seseorang”. Tetapi dalam semboyan politik
islam Sunni, kata itu merujuk pada wewenang seseorang yang berfungsi
kenabiannya, ada tiga bentuk rumusan tentang kekhalifahan yang diajukan oleh
Ann Lambton. Rumusan-rumusan itu adalah:
1)
Rumusan para penasihat
Khalifah (terkadang disebut sebagai kaum moralitas atau para realis politik).
2) Rumusan
para filosof
3)
Rumusan para ahli hukum
islam
Studi ini akan lebih banyak mengutarakan
kupasan para ahli hukum, karena pemikiran politik ibnu taimiyyah boleh jadi
tidak selalu mirip dengan pendekatan hukum meskipun dapat di katakan sebagai
suatu contoh. Namun sebagai memasuki uraian mereka akan disajikan terlebih
dahulu dua pedekatan yang lainnya. [2]
B.
Pemikiran
Politik Syi’ah
Sebagai
telah di kemukakan perang Shiffin berakhir dengan arbitrase dan berakibat pada
lahirnya tiga fraksi politik waktu itu, pertama golongan Khwarij, kedua
golongan muawiyah yang berhasil membentuk dinasti umayah dan menjadi imperial
Islam pertama dalam sejarah, ketiga golongan Ali yang dikenal dengan golongan
Syiah. Kemudian golongan Syiah ini pecah ke dalam beberapa golongan. Golongan
terbesa dan berpengaruh adalah golongan Syiah dua belas, Syiah ismailiyah,
Syiah Fathimiyah dan Syiah Zaidiyah. Kaum Syiah adalah para pengikut setia Ali
bin abi Thalib, keyakinan mereka yang amat tinggi kepadanya membawa kepada
suatu keyakinan bahwa Ali bin abi thalib adalah Khalifah terpilih dari Nabi
SAW. Selanjutnya pengikut syi’ah dua belas mengakui adanya 12 imam yaitu Ali
bin abi thalib,Al-hasan bin ali, Al-husein bin ali,Ali zain al-abidin bin
Al-husein, muhammad al-baqir bin ali zain al bidin, ja’far al- shadiq bin
muhammad al –baqir,musa al-kazim bin ja’far al-shadiq, Ali al-rida bin muhammad
al-jawwad, al-hasan al-askari bin ali al-hadi, dan muhammad al-muntazhar bin
al- hasan al askari. Golongan ini membatasi jumlah imam sampai 12 orang.
Sedangkan
syi’ah ismailiyah hanya meyakini tujuh imam mereka berbeda pendapat pada imam
ketujuh musa al-kazim ataukah ismail keduanya imam ke enam yang berhak mewarisi
jabatan imam. Paradigma pemikiran syi’ah ismailiyah tentang imamah adalah
imamah bukan urusan yang bersifat umum yang di serahkan kepada umat dan
menentukan orang untuk untuk memegang jabatab itu menurut kehendak mereka.
Sebab masalah imamah termasuk rukun agama dan kaidah islam karena itu Nabi
tidak boleh melupakannya atau menyerahkannya kepada umat. Bahkan Nabi wajib
menentukan imam bagi umat Islam da imam adalah ma’shum ( suci) dari dosa-dosa
besar dan kecil. Dan kemudian ada sebuah Hadist yang menjadi dasar keyakinan
kaum syi’ah bahwa Nabi Muhammad SAW,
sebelum beliau wafat telah menetapkan Ali sebagai penggantinya. Kedudukan Ali
dalam hal ini adalah sebagai washi
Nabi Muhammad yang menerima wasiat beliau dan ia menerima kepercayaan
sepenuhnya dari beliau untuk menggantikan belian dan memimpin umat. Dengan
posisi yang demikian imam memiliki kekuasaan dan sarana penting dalam penetapan
hukum dan undang-undang. Imam juga memiliki kekuasaan paripurna dalam
penetapannya dan setiap perkataannya merupakan bagian dari syariat. Kita tahu
bahwa dari uraian tersebut bahwasannya imam merupakan sumber hukum dan
undang-undang. Karena itu pengikut syi’ah menetapkan bahwa seorang imam :
1. Harus
ma’shum ( terpelihara ) dari berbuat salah dan lupa maksiat
2. Seorang
imam boleh membuat hal yang luar biasa dari adat kebiasaan yang mereka sebut
mukjizat untuk mengukuhkan keimamannya sebagaimana yang terjadi pada Nabi-nabi
allah
3. Seoarang
imam harus memiliki ilmu yang memiliki setiap sesuatu yang berhubungan dengan
syariat
4. Imam
adalah pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestariannya agar terhindar
dari penyelewengan
Itulah
doktrin-doktrin pokok syi’ah imamiyah dan pengikutnya sekarang terdapat
terutama di Iran,Irak, Pakistan dan India. Kepemimpinan imam adalah pemegang
kekuasaan spiritual ( otoritas keagamaan ) dan kekuasaan politik sekaligus.
Selanjutnya
syi’ah zaidiyah yang tidak menganut paham dan teori bersembunyi bagi mereka
imam harus langsung memimpin umat dan berasal dari keturunan Ali dan Fathimah.
Imam syi’ah zaidiyah adalah Zaid bin ali Zain al-Abidin dan para pengikutnya
tidak menempatkannya pada tingkat martabat kenabian. Mereka mempersamakanyya seperti
seluruh manusia hanya saja para imam itu adalha manusia terbaik ( al-afdhal )
sesudah Rasulullah jadi golongan ini tidak sempat mengkultuskan imam secara
berlebihan. Syi’ah Zaidiyah juga tidak meyakini bahwa Nabi telah menetapkan
orang dan nama tertentu untuk menjadi imam dan tidak ada teori Washi dalam
pemikiran politik mereka. Nabi hanya menetapkan sifat-sifat Nabi yang mesti
dimiliki oleh seorang imam yang menggantikan beliau. Dalam sejarah syo’ah
Zaidiyah pernah membentuk kerajaan di Yaman utara dengan ibu kota san’a namun,
kemudian semenjak 26 September 1962 pemerintahan kerajaan di Negara tersebut di
ubah oleh kau republik, pro Nassir ( pemimpin Mesir ) dan menjadi republik
melalui suatu revolusi.
Suatu
analisis bahwa terjadinya pengkultusan terhadap diri Ali oleh kaum syi’ah tidak
bisa lepas dari pendapat kaum khawarij yang mengkafirkan Ali sejak peristiwa
tahkim. Para pengikut Ali yang setia jelas tidak dapat menerima pengkafiran
tersebut untuk itu ada suatu doktrin yang mengimbanginya yaitu mengangkat dan
mengkultuskan pada tingkat ma’shum dan mendoktrinkan bahwa ia telah ditetapkan
melalui wasiat Nabi sebagai imam untuk menggantikan Nabi. Dengan demikian, para
pakar syi’ah adalah muslim pertama yang melahirkan tentang imamah, mereka
berpendapat bahwa imamah tidak hanya merupakan suatu sistem pemerintahan, namun
juga rancangan tuhan, suatu kepercayaan yang di anggap sebagai penegas
keimanan. Konsep syi’ah tentang Imamah di dasarkan pada asumsi bahwa syariat
tidak akan berjalan tanpa adanya kekuasaan mutlak yang berfungsi serta
memelihara serta menafsirkan pengertian yang benar dan murni tentang syariat
tersebut. Kaum syi’ah mengembangkan teori mereka tentang Imamah segaris dengan
ketentuan imam yang di pilih oleh tuhan bukan hasil pilihan manusia.[3]
C.
Pemikiran
politik khawarij
Generasi pertama golongan khawarij ini
adalah sebagian dari pengikut khilafah Ali yang keluar dari barisannya dalam
perang shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase) untuk menyelesaikan antara Ali dan Muawiyah.
Dalam tahkim ini disepakati bahwa masing-masing pihak diharuskan mengirimkan
seorang hakam (juru damai,arbitrator). Daumatul jandal dipilih sebagai tempat
pelaksanaan tahkim. Mereka keluar dari barisan Ali setelah hasil dan keputusan
tahkim di umumkan. Menurut
mereka proses pelaksanaan tahkim dan keputusannya mengandung catat, tidak adil
dan bahkan bertentangan dengan ketentuan Al-Qur’an.[4]
Kaum khawarij ini ini kemudian mengembangkan
paham dan pemikiran di bidang teologi dan politik secara sederhana. Paradigma
pemikiran dan pemahaman mereka didua bidang ini didasarkan pada peristiwa tahkim. Jadi pemikiran mereka sebagai reaksi atas
hasil tahkim dan perkembangan berikutnya. Pemikiran politik mereka yang pokok
adalah mengenai eksistensi khilafah, masalah siapa yang berhak menjadi khalifah
dan persyaratannya, masalah mekanisme pengangkatan dan pemakzulan khalifah.
Khawarij berpendapat bahwa membentuk pemerintah dan mengangkat seorang imam
bukan wajib syar’i, melainkan keadaanlah yang mengharuskannya ada.
Pemikiran politik khawarij yang
cemerlang dan bercorak demokratis adalah
mengenai masalah siapa yang berhak menjadi khalifah atau imam, dan atau kepala
negara kalau memang dibutuhkan oleh umat islam. Atas dasar pemahaman demokratis
ini, teori politik khawarij tidak mengenal atau mengakui bahwa khalifah telah
ditentukan oleh nabi melalui wasiatnya, dan tidak pula dapat menerima
penyerahan kekuasaan kepada seorang dari khalifah yang sedang berkuasa, yakni
sukses khalifah secara turun temurun dengan mengangkat putra mahkota.
Dalam praktek, kaum khawarij lebih
mengutamakan orang-orang non Quraisy untuk menduduki jabatan khalifah. Alasanya
yang dikemukakan agar mudah dimakzulkan apabila ia menyimpang dari ketentutan
syariat. Karena, tidak ada‘ashabiyat yang melindunginya, atau keluarga besar
yang akan membelanya. Kare itu, krtika mereka memakzulkan Ali sebagai khalifah,
mereka menggantikannya dengan mengangkat Abdullah bin Wahab al-Rasibi,
non-Quraisy. Sejarahpun mencatat kaum khawarij tampil sebagai salah satu gerakan yang merongsong kekuasaan dua dinasti
itu. Sikap radikal mereka tentu dipengaruhi oleh prinsip teori politik mereka
mengenai imamah. Bagi mereka lembaga ini
urusan seluruh umat dan setiap individu memiliki hak yang sama atasnya. Bukan
urusan dan hak sukutertentu seperti dimonopoli secara turun temurun . dua
dinasti itu mereka tuduh telah merampas hak kaum muslimin.
Mengenai kualifikasi bagi sese0rang
untuk menduduki jabatan khalifah disamping itu tidak di isyaratkan harus
berasal dari suku tertentu, menurut khawarij, sang calon harus punya
kekuatan,berilmu, berlaku adil, punya keutamaan dan watak. Sedangkan mekanisme
pemilihanya diserahkan sepenuhnya kepada
kehendak kaum muslimin. Mereka punya hak penuh untuk menentukan orang terbaik,
karena kesalihan dan kesucian hidup, secara bebas dan benar oleh seluruh kaum
muslimin.
Kelompok muslim yang paham demokrat ini,
tapi radikal dalam politik praktis, tidak menetapkan masa jabatan sorang
khilafah. Ini bearti khilafah boleh
memangku jabatanya itu seumur hidup. Tentu saja ada persyaratan yang berat,
yaitu selama ia tidak melanggar ketentuan syariat islam. Tapi, apabila ia
melanggar dari prinsip-prinsip al Qur/an dan sunah nabi, kaum muslimin wajib
memakzulkan atau membunuhnya apabila keadaan memungkinkannya. Mereka mengatakan
“khalifah yang melanggar ajaran-ajaran islam, wajib dijatuhkan, bahkan d
bunuh”, atau dalam menjalankan tugas kekhilafahanya ia tidak memperhatikan
kemaslahatan kaum muslimin, ia menyimpang dan dari padanya berbuat zalim, ia
wajib dimakzulkan atau dibunuh. Tapi, apabila ia memerintah dengan adil,
menegakan ayariat, terhindar dari berbuat dosa, mereka sepakat, seorang
khilafah boleh terus memangku jabatannya dalam waktu yang tidak ditentukan.
Pembahasan ringkas tentang pemikiran
khawarij ini, perlu dilihat faktor yang
mewarnai pandangan politik mereka. Wellhausen melihatnya dari segi pemahaman
mereka terhadap al-Qur’an menurutnya orang-orang yang menguasai al-Qur’an
dengan baik dan mendalam saleh, dan jujur. Tapi, menurut Abu Zahroh kaum
khawarij terdiri dari orang-orang Baduwi (masyarakat arab pinggiran) yang
kurang mendalami al-quran namun mereka memiliki keikhlasan yang tinggi dan
semangat yang besar untuk melaksanakan ajaran islam. Demikian pemikiran politik mereka diwarnai
oleh watak demokratis dan cara berfikir yang sederhana, serta pengaruh dari
empiric-historis yang traumatik dan rekasi terhadap tatanan politik
pemerintahan islam yang dimonopoli oleh orang-orang Arab Quraisy.[5]
Golongan khawarij mempunyai keyakinan
teramat kuat terhadap agama yang dipeluknya, sehingga menolak terhadap segala
bentuk perbuatan dosa. Sikap itu melahirkan dogma-dogmanya yang lain seperti
keyakinan bahwa setiap perbuatan merupakan penting dari iman. Artinya setiap
muslim berkewajiban melaksanakan kebajikan dan menjauhi kemungkaran serta serta
mewujudkan persamaan hak diantara orang-orang yang beriman. Mereka menganggap
kesalehan sebagai watak dan pribadi setiap muslim yang tidak dapat ditawar .
oleh sebab itu, seorang pelaku dosa besar di vonis sebagai kafir meskipun ia
telah mengucapakan dua kaliamt syahadat atau melaksanakan semua bentuk
peribadatan.
Jika kepercayaan khawarij diterjemahkan
kedalam prilaku politik, kita menemukan bahwa ciri utama adalah hak mutlak
tidak hanya untuk menentang , tetapi juga memberontak terhadap pemerintah yang
berkuasa, jika terbukti bahwa tindakan atau karakternya tidak segaris dengan
standart buku undang-undang pemerintah atau imam. Menurut standar ini
pemerintah atau imam harus lah seorang dengan pribadi utuh dan adil serta saleh
tanpa mengabaikan ajaran-ajaran al-Qur’an. Karena pemujaan yang berlebihan
terhadap al-qur’an mereka sering kali meremehkan arti sunnah atau hadist.
Penyimpangan sekecil apapun dari ajaran al-qur’an yang dilakukan setiap muslim
dianggap cukup menyebutnya sebagai penghina tuhan, sehigga patut diganjar
dengan hukuman yang paling keras, tak peduli apakah ia rakyat jelata ataupun
penguasa. Bila sang pelaku dosa itu kebetulan sorang pemimpin islam maka, cukup
alasan bagi mereka untuk menumbangkan dan mengakhiri kekuasaanya.
Telah
disebutkan dimuka bahwa kaum khawarij pada akhirnya membangkang dan bahkan
membunuh Ali karena pandangan mereka negatif mengenai diri dan pribadinya.
Memang sini penting persoalan yang mereka angkat bukan masalah kekhalifahan
atau imammah, tetapi pelaksanakan syariat seperti yang digariskan dalam
al-qur’an .siapapun yang melaksanakan syariat tersebut dianggap memenuhi syarat
untuk menjadi imam atau pemimpin cara berpikir seperti itu mengiring mereka
untuk menampik keafsahan kekalifahan yang semata berasal dari suku quraisy,
prinsip kunci dalam alur pemikiran sunni yang dianggap mulia sepanjang sejarah
negara islam.
Konsep khawarij secara kaku dan keras
menolak pemerintahan secara itu seraya menegaskan bahwa siapapun, bangsawan
arab maupun budak hina dari ethiopia, laki-laki atau perempuan, berhak
memerintah umat islam selama ia mampu menunjukkan kecakapan dan determinasinya
untuk melaksanakan ajaran-ajaran alquran serinci mungkin.[6]
D. Pemikiran Politik
Mu’tazilah
Kelompok Mu’tazilah pada awalnya
merupakan gerakan beberapa sahabat yang “gerah” terhadap kehidupan politik umat
Islam pada masa pemerintahan ‘Ali. Setelah diketahui, setelah ‘Usman terbunuh,
‘Ali diangkat menjadi Khalifah. Zubeir dan Thalhah mengadakan perlawanan di
Mekkah, sementara ‘Aisyah mendukung perlawanan mereka dari Mekkah.
Pemberontakan mereka dapat dipadamkan dan ‘Aisyah dikembalikan ke Mekkah.
Sementara di Damaskus, gubernur Mu’awiyah juga mengangkat senjata melawan ‘Ali.
Melihat situasi yang demikian kacau, ‘Abdullah Ibn ‘Umar, Sa’ad Ibn Abi Waqqas,
Zaid Ibn Tsabit bersikap netral. Mereka tidak mau terlibat dalam pertentangan
dengan kelompok-kelompok diatas. Sebagai reaksi atas keadaan ini mereka sengaja
menghindar (I’tazala) dan memperdalam pemahaman agama serta meningkatkan
hubungan Allah.
Namun penamaan kelompok ini dengan
Mu’tazilah baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan pendapat antara Washil
Ibn ‘Atha’ dengan gurunya Hasan al-Bisri tentang penilaian terhadap orang yang
berdosa besar ; apakah masih layak dikatakan mukmin tau tidak. Dalam masalah
ini, Washil berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak ukmin dan tidak
kafir, tetapi berada diposisi antara keduanya. Pendapat ini dikenal dengan
(al-manzilah bain al-manzilatin). Pendapat Washil menjadi pokok utama Mu’tazila
dan dianggap awal lahirnya kelompok Mu’tazilah dalam Islam.
Namun demikian, kelompok pertama dan
kedua terdapat hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisah-pisahkan.
Doktrin manzilah bain al-manzilatain sendiri sebenarnya bukan hanya sekedar
pandangan teologis, melainkan siap politik Mu’tazilah terhadap kondisi yng
berkembang sehjak masa ‘Ali. Mereka memandang tokoh-tokoh yang terlibat
perselisihan adalah sahabat-sahabat nabi yang saleh. Mereka terpecah, dan
kedua-duanya tidak ada yang benar. Oleh sebab itu mereka menyerahkannya kepada
Allah.
Kelompok Mu’tazilah menjadi sebuah
aliran teologi rasional dan pemikiran-pemikirannya juga merambah kelapangan
siyasah. Beberapa tokoh Mu’tazilah juga berbicara tentang khilafah, dengan
berbasis teologi rasioanl mereka. Salah satunya Al-Qadhi Abd al-Jabar
berpandangan bahwa pembentukan lembaga khilafah bukanlah kewajiban berdasarkan
syar’I, melainkan pertimbangan akal semata. Tidak ada nashsh yang secara tegas
memerintahkan umat Islam untuk membentuk sebuah negara. Jadi akallah yang
menjadi ukuran untuk menentukan pembentukan lembaga khilafah. Meskipun pendapat
ini sama dengan khawarij yang berpikir sederhana, Mu’tazilah memberikan
argumentasi filosofis dan teologis.
Sebagai aliran rasional, Mu’tazilah
berpendapat bahwa dengan kemampuan akalnya, manusia dapat mengetahui empat hal
: yaitu Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, baik dan jahat serta kewajiban
mengerjakan yang baikan dan menjauhi yang jahat. Dengan adanya negara manusia
dapat mengatur kehidupannya sesuai dengan kebaikan dan kemaslahatan mereka.
Meskipun berdasarkan akal, kalau umat
Islam sudah membentuk suatu negara atau pemerintahan maka adalah kewajiban umat
Islam untuk mematuhi dan melaksanakan segala konsekuensinya. Kekuatan hukum
yang ditetapkan akal sama dengan yang didasarkan pada Al-Qur’an dan al-Sunnah.
Sebab, akal adalah nikmat Allah yang paling berharga kepada manusia dan harus
disyukuri.
Sesuai dengan pandangannya tentang
pertimbangan akal untuk membentuk pemerintah, ‘Abd al-Jabbar menempatkan kepala
negara sama dengan umat Islam lainnya. Menurutnya, kepala negara hanya orang
yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting untuk mengurus kepentingan
umat Islam berbeda dengan pendapat Syi’ah dan Sunni. Meskipun kepala negara
memiliki posisi sebagai pemimpin politik dan spiritual umat Islam, ia tidak
memiliki sifat-sifat ma’shum sebagaimana pandangan syi’ah.
Karenanya kalangan mana dan siapaun
boleh menjai kepala negara, asalkan ia mampu melaksanakannya. Kepala negara
ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri, karena mereka yang paling
tahu tentang keadaan mereka dan hal-hal yang mereka pilih. Namun demikian, Abd
al-Jabbar mensyaratkan kepala negara harus:
1. Merdeka.
Karena pada saat itu perbudakan belum sepenuhnya dihapuskan.
2. Mempunyai
kekuatan akal dan nalar yang sehat dan lebih dari yang lainnya. Karena kepala
negara harus cerdas agar dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik sesuai
syariat.
3. Mengandung
doktrin al-‘adl wa al-tawhid, sebagaimna ajaran Mu’tazilah.
4. Bersifat
wara’. Syarat ini penting agar kepala negara tidak menyalahi kewengan dan
kekuasannya. Dengan demikian, segala kebijakan dan keputusan politiknya
diarahkan semata-mata hanya untuk kepentingan umat Islam, bukan pribadi atau
golongan.
Tentang
bagaimana pemilihannya Abd al-Jabbar berpendapat ia dipilih berdasarkan
musyawarah. Sudirman M. Johan mengemukakan beberapa cara : pertama,
pengangkatan sejumlah orang yang diakui dalam masyarakat dan jumlah harus
ganjil agar mudah untuk menghitungnya. Kedua, dengan jalan musyawarah yang diikuti
oleh orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan agama mendalam dan wawasan
politik yang luas.
Dalam
sejarah Islam, pola pertama ketika Umar membaiat Abu Bakar sebagai khalifah
pengganti Rasulullah SAW. Lalu umat pun mengadakan baiat mengikuti Umar.
Sementara pola kedua terjadi ketika Umar menunjuk enam sahabat senior yakni
Usman, Ali, Abd al-Rahman Ibn AWF, Thalhah, Sa’ad Ibn Abi Waqqas, dan Zubeir
uuntuk menentukan penggantinya kelak. Dalam persidangan “tim khalifah” ini,
akhirnya Usman terpilih menggantikan Umar.
Pemikiran
ini kelihatannya sejalan dengan pandangan al-Mawardi, tokoh pemikir Sunni, yang
mensyaratkan pengangkatan kepala negara melalui ahl al-ikhtiyar dan ahl al-hall
wa al- aqd. Namun, Abd al-Jabbar hanya sampai pada tahap pemilihan, ia tidak
secara eksplisit mengemukan pendapatnya tentang control lembaga terhadap
kekuasaan negara. ini berbeda dengan al-Mawardi yang menyatakan kemungkinan
kepala negara diturunkan dari jabatannya apabila sudah menyimpang dari
keadilan. Pandangan ini juga berbeda dengan Khawarij yang secara ekstrem
membolehkan kepala negara dicopot darijabatannya bahkan dihalalkan untuk
membunuh apabila ternyata ia menyimpang.
Agaknya,
luputnya pembicaraan ini karena Mu’tazilah sejak awal sudah mensyaratkan
seorang kepala negara sebagai pribadi yang wara’. Tapi pertanyaannya adakah
jaminan bahwa sikap wara’ ini merupakan
sesuatu yang konstan dan stabil dalam diri kepala negara ? apakah kepala negara
otomatis dapat menjalankan kekuasaan dengan baik, tanpa tergoda oleh pengaruh-pengaruh
yang dapat menggelincirkannya. Bukankah dalam pengalaman sejarah Khalifah Usman
tergelincir pada praktik nepotisme yng akibatnya membawa pada kematiannya ?
Pada
tataran ini, agaknya kita perlu memberikan apresiasi terhadap pemikiran
Mu’tazilah yang mengagungkan akal. Tapi ketika berbica pertanggung jawaban
kepala negara terhadap rakyatnya
Mu’tazilah malah mundur dan mengabaikannya. Jika akal yang lurus
seharusnya mengkritik dan meminta pertanggung jawaban. Apalagi dalam
doktrinnya, kepala negara diangkat melalui persetujuan rakyat lewat lembaga ahl
al-hall wa al-aqd. Namun, dari empat aliran politik ini ada satu kesamaan yang
patut dicatat, yaitu tidak satu pun aliran yang membicarakan masalah masa
jabatan negara.[7]
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan tentang pemikiran
aliran-aliran diatas, kita dapat menyimpulkan adanya tiga pemikiran politik
negara dalam Islam. Pertama, aliran aristokrasi dan monarki yang diwakili oleh
kelompok Sunni. Aliran ini mengklaim keistimewaan kelompok Quraisy sebagai
kepala negara dan kepatuhan mutlak kepada kepala negara. dalam batas-batas
tertentu gagasan Sunni tentang kepala negara sebagai bayang-bayang Allah dimuka
bumi cenderung mengarahkan aliran ini kepada teokrasi. Kedua, aliran teokrasi
yang diwakili oleh Syi’ah, kecuali Syiah Zaidiyah. Mereka menganggap kepala
negara (imam) sebagai pemegang kekuasaan agama dan politik berdasarkan petunjuk
Allah lewat wasiat Nabi-Nya. Karena itu, mereka memandang kepala negara adalah
pribadi yang Mashum. Ketiga, aliran demokrasi yang dianut oleh Khawarij dengan
beberapa catatan Mu’tazilah. Pandangan Khawarij merupakan reaksi atas pemikiran
politik Sunni dan Syi’ah yang mengutamakan kelompok atau pribadi tertentu dalam
kepemimpinan umat Islam.
Daftar Pustaka
1.
Dr. Muhammad Iqbal,
M.Ag. 2014. Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta:
Prenadamedia Group.
2.
Dr. Khalid
Ibrahim Jindan, 1995. Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang
Pemerintah Islam. Surabaya: Risalah Gusti.
3.
Dr. J. Suyuthi
Pulungan, M.A. 2002. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
[1] . Dr. Muhammad Iqbal,
M.Ag, Fiqh Siyasah : Kontekstualisasi
Doktrin Politik Islam, hal. 119
[2] . Dr. Khalid Ibrahim
Jindan, Teori Politik Islam : Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintah
Islam, hal. 10-11
[3] . Dr. Muhammad Iqbal,
M.Ag, Fiqh Siyasah : Kontekstualisasi
Doktrin Politik Islam, hal. 131-130
[4] . Dr. J. Suyuthi
Pulungan, M.A, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, hal. 195
[5] . Dr. J. Suyuthi
Pulungan, M.A, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, hal. 196-201
[6] . Dr. Khalid Ibrahim
Jindan, Teori Politik Islam : Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintah
Islam, hal. 6-7
[7] .Dr. Muhammad Iqbal,
M.Ag, Fiqh Siyasah : Kontekstualisasi
Doktrin Politik Islam, hal. 141-147.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar