Rabu, 07 Maret 2018

Makalah Pemikiran Politik Timur (Sunni, Syi'ah, Mu'tazilah)


 

 
BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1 Latar Belakang

Dilihat dari praktik Nabi Muhammad SAW mendirikan dan memimpin Negara Madinah, dapat disimpulkan bahwa keberadaan sebuah negara adalah penting bagi umat Islam. Dengan adanya negara, maka wahyu-wahyu Allah akan diterapkan secara efektif dalam ruang dan waktu, sehingga terciptalah kebahagian, ketentraman, dan keharmonisan kehidupan manusia. Namun negara bukanlah tujuan bagi Islam, melainkan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut. Agaknya, disinilah relevansi kebijakan Nabi Muhammad SAW yang tidak menyebutkan Islam sebagai agama negara dalam Konstitusi Madinah yang sama sekali tidak menyinggung tentang agama negara.

Hal ini merupakan isyarat bahwa dalam soal kenegaraan dan pemerintah, Nabi Muhammad SAW tidak memberikan ketentuan dan peraturan yang baku dan mutlak harus diikuti oleh umatnya. Beliau hanya menggariskan perinsip dasar yang harus dilaksanakan, sedangkan formulasinya dan hal lainnya yang bersifat teknis diserahkan sepenuhnya kepada umat Islam. Inilah sebabnya Nabi tidak menunjuk penggantinya setelah beliau wafat, karena masalah suksesi kepemimpinan ini juga merupakan teknis. Jika beliau menunjuk siapa penggantinya, maka boleh jadi hal ini akan kesan hal yang beliau lakukan harus diikuti oleh umat (al-Sunnah al-muttaba’ah).[1]

1.2 Rumusan Masalah

1)      Bagaimana  pemikiran politik sunni?

2)      Bagaimana  pemikiran politik Syi’ah?

3)      Bagaimana  pemikiran politik Khawarij?

4)      Bagaimana  pemikiran politik Mu’tazilah?

1.2 Tujuan

1.      Mampu memahami dan menjelaskan pemikiran politik sunni.

2.      Mampu memahami dan menjelaskan pemikiran politik Syi’ah

3.      Mampu memahami dan menjelaskan pemikiran politik Khawarij

4.      Mampu memahami dan menjelaskan pemikiran politik Mu’tazilah

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pemikiran Politik Sunni

Di kalangan pemikir Sunni terdapat pandangan bahwa pembentukan negara merupakan kewajiban. Menurut Al-Mawardi, Negara (imamah ) di bentuk dalam rangka menggantikan posisi kenabian (nubuwwah) dalam rangka melindungi agama dan mengatur kehidupan dunia (al-imamah maudhu'atun li khilafat al-nubuwwah fi hirasat al-din wa siyasat al-dunya).        

Menurut al-Mawardi imamah (kepemimpinan, negara) hukumnya adalah Fardu Kifayah berdasarkan ijma’ ulama. Pandangan ini di dasarkan pada realitas sejarah al-khulafa al-rasyidin dan para khalifah sesudah mereka, baik bani umaiyah maupun Bani Abbas, yang merupakan lambang kesatuan politk umat islam ketika itu. Pandangan al-Mawardi ini juga sejalan dengan dengan kaidah ushul fiqh ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib (suatu kewajiban tidak sempurna terpenuhi kecuali melalui sarana atau alat, maka sarana atau alat tersebut juga wajib dipenuhi). Artinya, menciptakan dan memelihara kemaslahatan adalah kewajiban ummat islam, sedangkan sarana atau alat untuk terciptanya kemaslahatan tersebut adalah negara, maka mendirikan negara juga wajib (fardhu kifayah) . Pendapat al-Mawardi di atas juga sejalan dengan pemikiran al-Ghazali. Menurut al-Ghazali, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Disinilah perlunya mereka hidup bermahsyarakat dan bernegara. Namun demikian, imam Ghazali menjelaskan bahwa pembentukan negara bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan praktis duniawi, malinkan juga untuk persiapan bagi kehidupan akhirat kelak. Berdasarkan pandangan al-Ghazali berpendapat bahwa kewajiban pembentukan negara dan pemilihan kepala negara bukanlah berdasarkan pertimbangan atau rasio, melainkan berdasarkan kewajiban agama(syar’i) hal ini dikarenakan bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan akhirat tidak tercapai tanpa pengalaman dan pengahayatan agama secara benar. Al-Ghazali menyatakan bahwa agama dan negara(pemimpin negara) bagaikan dua saudara kembar yang lahir dari rahim seorang ibu. Keduanya saling melangkapi.

Dalam teorinya, al-Ghazali merumuskan bahwa agama adalah landasan atau basis bagi kehidupan manusia dan politik adalah penjaganya, politik tanpa agama bisa hancur , sebaliknya agama tanpa politik dapat hilang dalam kehidupan manusia. Berbeda dengan dua pemikir Sunni di atas, Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa mengatur urusan ummat memang merupaakn kewajiban agama yang terpenting, tetapi hal ini tidak berarti pula bahwa agama tidak dapat hidup tanpa negara.

Ia lebih menggunakan pendekatan Sosiologis. Menurutnya, kesejahteraan manusia tidak dapat tercapai kecuali hanya dalam satu tatanan sosial dimana setiap orang saling berbantu dan membutuhn antara satu dengan yang lainnya oleh sebab itu di bututhkan seorang pemimpin yang akan mengatur kehidupan sosial tersebut. Bagi Ibnu Taimiyah, penegakan institusi negara bukanlah atas dasar negara, melainkan hanya kebutuhan praktis saja.  Ia juga menekankan fungsi negara untuk negara. Dalam kesempatan lain, Ibnu Taimiyah menyatan Bahwa kesejahteraan ummat islam tidak mungkin dapat tercipta baik di dunia maupun di akhirat kecuali melalui institusi negara.

Pada sisi lain, sebagai kelompok mayoritas pola fikir kaum sunni biasanya sangat pro pada pemerintah yang berkuasa (Status kuo). Pemikiran-pemikiran dari ahli-ahli politik Sunni cendrung membela dan mempertahankan kekuasaan. Tidak jarang pula pemikiran politik dan kenegaraan mereka mejadi alat Legitimasi bagi kekuasaan Khalifah dan pemerintah. Kalangan ulama Sunni pada umumnya melarang rakyat (ummat islam) melakukan pemberontakan kepada penguasa, walaupun dzalim. Penguasa yang lebih baik dari pada tidak ada kepemimpinan dalam islam. Inbu taimiyyah bahkan merumuskan bahwa 60 tahun berada di bawah Rezim penguasa yang dzolim lebih baik dari pada sehari hidup tanpa pemimpin. Kalangan Sunni biasanya menggangap bahwa kekuasaan kepala negara (Khalifah) berasal dari tuhan. Dalam sejarah islam, yang pertama kali memperkenalkan dirinya sebagai khalifah (wakil) tuhan dibuminya adalah Khalifah Abu Ja’far Al manshur dari bani Abbas. Pernyataan ini menunjukkan bahwa Khalifah memerintah berdasarkan mandat tuhan. Kekuasaanya adalah suci dan mutlak serta harus di patuhi, Khalifah adalah bayang-bayang Allah di dunia (zil shi allah fi al-ardh).

Pandangan ini mendapat pembenaran dari Ibnu Abi rabi’ pemikir Sunni yang hidup pada abad ke tiga Hijriyyah/9 M. Ibnu Abi Rabi’ mencari dasar bagi Legitimasi keistimewaan hak-hak Khalifah atas Rakyatnya dalam ajaran agama, yaitu surat Al-an’am 6:165 dan An-Nisa’ 4: 59. Kedua ayat tersebut merupakan penegasan Allah bahwa ia telah memberi keistimewaan kepada raja dengan segala keutamaan dan memeperkukuh kedudukan mereka dibumiNya. Oleh sebab itu Allah mempercayakan kepada mereka untuk memimpin hamba-hambanya yang lain. Di samping itu, Allah juga mewajibkan kepada para ulamah untuk menghormati, mengagungkan, menaati perintah mereka. Menurutnya, sumber kekusaan adalah Tuhan. Kemudian kekuasaan ini dilimpahkan-Nya hanya kepada sebagian kecil hamba-Nya. Oleh sebab itu, kekuasaan kepala Negara bersifat sakral ( muqaddas) dan umat harus mengikuti kepala negara.

Pendapat tokoh-tokoh sunni menarik untuk di cermati. Pada masa pemerintahan Al- Khulafa’ Al- Rasyidun, tidak ada wacana bahwa khalifah adalah bayang-bayang Allah. Abu bakar sendiri, sebagai Khalifah pertama umat islam, menolak di panggil dengan khalifatullah. Ia lebih senang di panggil dengan khalifah Rasul Allah. Adapun Umar lebih senang di panggil dengan amir Al-mu’minin ( pemimpin kaum beriman ). Berabad-abad sebelum kedatangan rasulullah hampir seluruh dunia berkembang konsep penguasa sebagai wakil Tuhan dibumi dan rakyatnya mengakui bahwa pengauasa mereka memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti dimesir kuno, Assiria dan Iran. Akibatnya penguasa menganggap kekuasaan mereka mutlak.

Dari beberapa pemikir Sunni konsep khalifah sebagai Khaidim al-Ummah (pelayan umat) diubah menjadi bayang-bayang Allah yang memilki kekuasaan yang besar dan luas. Pemikiran ini tidak terlepas dari kepentingan politik para penguasa dalam mempertahankan supremasinya terhadap rakyat. Sebagai konsekuesi dari kekuasaan kepala negara yang sakral baik Ibn Abi Rabi’, Ibn Taimiyah maupun al-Ghazali berpendapat bahwa kepala negara tidak dapat diturunkan dari jabatannya bahkan Ibn Taimiyah mengharamkan umat Islam melakukan pemberontakan kepala negara. Berbeda dari tiga pemikir diatas, al-mawardi (975-1058) berpendapat bahwa sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasakan perjanjian antara kepala negara dan rakyatnya. Ciri lain pemikiran politik golongan Sunni adalah penekanan meereka terhadap Quraisy sebagai syarat kepala negara. Pandangan mereka dilandasi pada hadist nabi saw Ibn Abi Rabi’ ia tidak membahas persyaratan yang dilandasi pada hadist nabi tersebut karena pada masa nya suku quraisy (Bani Abbas) sedang mencapai puncak kekuasaannya.

Secara etimologis, kata Kekhalifahan (Khalifah) berarti “ menggantikan seseorang”. Tetapi dalam semboyan politik islam Sunni, kata itu merujuk pada wewenang seseorang yang berfungsi kenabiannya, ada tiga bentuk rumusan tentang kekhalifahan yang diajukan oleh Ann Lambton. Rumusan-rumusan itu adalah:

1)      Rumusan para penasihat Khalifah (terkadang disebut sebagai kaum moralitas atau para realis politik).

2)      Rumusan para filosof

3)      Rumusan para ahli hukum islam

Studi ini akan lebih banyak mengutarakan kupasan para ahli hukum, karena pemikiran politik ibnu taimiyyah boleh jadi tidak selalu mirip dengan pendekatan hukum meskipun dapat di katakan sebagai suatu contoh. Namun sebagai memasuki uraian mereka akan disajikan terlebih dahulu dua pedekatan yang lainnya. [2]

 
B.     Pemikiran Politik Syi’ah


Sebagai telah di kemukakan perang Shiffin berakhir dengan arbitrase dan berakibat pada lahirnya tiga fraksi politik waktu itu, pertama golongan Khwarij, kedua golongan muawiyah yang berhasil membentuk dinasti umayah dan menjadi imperial Islam pertama dalam sejarah, ketiga golongan Ali yang dikenal dengan golongan Syiah. Kemudian golongan Syiah ini pecah ke dalam beberapa golongan. Golongan terbesa dan berpengaruh adalah golongan Syiah dua belas, Syiah ismailiyah, Syiah Fathimiyah dan Syiah Zaidiyah. Kaum Syiah adalah para pengikut setia Ali bin abi Thalib, keyakinan mereka yang amat tinggi kepadanya membawa kepada suatu keyakinan bahwa Ali bin abi thalib adalah Khalifah terpilih dari Nabi SAW. Selanjutnya pengikut syi’ah dua belas mengakui adanya 12 imam yaitu Ali bin abi thalib,Al-hasan bin ali, Al-husein bin ali,Ali zain al-abidin bin Al-husein, muhammad al-baqir bin ali zain al bidin, ja’far al- shadiq bin muhammad al –baqir,musa al-kazim bin ja’far al-shadiq, Ali al-rida bin muhammad al-jawwad, al-hasan al-askari bin ali al-hadi, dan muhammad al-muntazhar bin al- hasan al askari. Golongan ini membatasi jumlah imam sampai 12 orang.

Sedangkan syi’ah ismailiyah hanya meyakini tujuh imam mereka berbeda pendapat pada imam ketujuh musa al-kazim ataukah ismail keduanya imam ke enam yang berhak mewarisi jabatan imam. Paradigma pemikiran syi’ah ismailiyah tentang imamah adalah imamah bukan urusan yang bersifat umum yang di serahkan kepada umat dan menentukan orang untuk untuk memegang jabatab itu menurut kehendak mereka. Sebab masalah imamah termasuk rukun agama dan kaidah islam karena itu Nabi tidak boleh melupakannya atau menyerahkannya kepada umat. Bahkan Nabi wajib menentukan imam bagi umat Islam da imam adalah ma’shum ( suci) dari dosa-dosa besar dan kecil. Dan kemudian ada sebuah Hadist yang menjadi dasar keyakinan kaum syi’ah  bahwa Nabi Muhammad SAW, sebelum beliau wafat telah menetapkan Ali sebagai penggantinya. Kedudukan Ali dalam hal ini adalah sebagai washi Nabi Muhammad yang menerima wasiat beliau dan ia menerima kepercayaan sepenuhnya dari beliau untuk menggantikan belian dan memimpin umat. Dengan posisi yang demikian imam memiliki kekuasaan dan sarana penting dalam penetapan hukum dan undang-undang. Imam juga memiliki kekuasaan paripurna dalam penetapannya dan setiap perkataannya merupakan bagian dari syariat. Kita tahu bahwa dari uraian tersebut bahwasannya imam merupakan sumber hukum dan undang-undang. Karena itu pengikut syi’ah menetapkan bahwa seorang imam :

1.      Harus ma’shum ( terpelihara ) dari berbuat salah dan lupa maksiat

2.      Seorang imam boleh membuat hal yang luar biasa dari adat kebiasaan yang mereka sebut mukjizat untuk mengukuhkan keimamannya sebagaimana yang terjadi pada Nabi-nabi allah

3.      Seoarang imam harus memiliki ilmu yang memiliki setiap sesuatu yang berhubungan dengan syariat

4.      Imam adalah pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestariannya agar terhindar dari penyelewengan

Itulah doktrin-doktrin pokok syi’ah imamiyah dan pengikutnya sekarang terdapat terutama di Iran,Irak, Pakistan dan India. Kepemimpinan imam adalah pemegang kekuasaan spiritual ( otoritas keagamaan ) dan kekuasaan politik sekaligus.

Selanjutnya syi’ah zaidiyah yang tidak menganut paham dan teori bersembunyi bagi mereka imam harus langsung memimpin umat dan berasal dari keturunan Ali dan Fathimah. Imam syi’ah zaidiyah adalah Zaid bin ali Zain al-Abidin dan para pengikutnya tidak menempatkannya pada tingkat martabat kenabian. Mereka mempersamakanyya seperti seluruh manusia hanya saja para imam itu adalha manusia terbaik ( al-afdhal ) sesudah Rasulullah jadi golongan ini tidak sempat mengkultuskan imam secara berlebihan. Syi’ah Zaidiyah juga tidak meyakini bahwa Nabi telah menetapkan orang dan nama tertentu untuk menjadi imam dan tidak ada teori Washi dalam pemikiran politik mereka. Nabi hanya menetapkan sifat-sifat Nabi yang mesti dimiliki oleh seorang imam yang menggantikan beliau. Dalam sejarah syo’ah Zaidiyah pernah membentuk kerajaan di Yaman utara dengan ibu kota san’a namun, kemudian semenjak 26 September 1962 pemerintahan kerajaan di Negara tersebut di ubah oleh kau republik, pro Nassir ( pemimpin Mesir ) dan menjadi republik melalui suatu revolusi.

Suatu analisis bahwa terjadinya pengkultusan terhadap diri Ali oleh kaum syi’ah tidak bisa lepas dari pendapat kaum khawarij yang mengkafirkan Ali sejak peristiwa tahkim. Para pengikut Ali yang setia jelas tidak dapat menerima pengkafiran tersebut untuk itu ada suatu doktrin yang mengimbanginya yaitu mengangkat dan mengkultuskan pada tingkat ma’shum dan mendoktrinkan bahwa ia telah ditetapkan melalui wasiat Nabi sebagai imam untuk menggantikan Nabi. Dengan demikian, para pakar syi’ah adalah muslim pertama yang melahirkan tentang imamah, mereka berpendapat bahwa imamah tidak hanya merupakan suatu sistem pemerintahan, namun juga rancangan tuhan, suatu kepercayaan yang di anggap sebagai penegas keimanan. Konsep syi’ah tentang Imamah di dasarkan pada asumsi bahwa syariat tidak akan berjalan tanpa adanya kekuasaan mutlak yang berfungsi serta memelihara serta menafsirkan pengertian yang benar dan murni tentang syariat tersebut. Kaum syi’ah mengembangkan teori mereka tentang Imamah segaris dengan ketentuan imam yang di pilih oleh tuhan bukan hasil pilihan manusia.[3]

 

C.    Pemikiran politik khawarij

Generasi pertama golongan khawarij ini adalah sebagian dari pengikut khilafah Ali yang keluar dari barisannya dalam perang shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase)  untuk menyelesaikan antara Ali dan Muawiyah. Dalam tahkim ini disepakati bahwa masing-masing pihak diharuskan mengirimkan seorang hakam (juru damai,arbitrator). Daumatul jandal dipilih sebagai tempat pelaksanaan tahkim. Mereka keluar dari barisan Ali setelah hasil dan keputusan tahkim di umumkan. Menurut mereka proses pelaksanaan tahkim dan keputusannya mengandung catat, tidak adil dan bahkan bertentangan dengan ketentuan Al-Qur’an.[4]

Kaum khawarij ini ini kemudian mengembangkan paham dan pemikiran di bidang teologi dan politik secara sederhana. Paradigma pemikiran dan pemahaman mereka didua bidang ini didasarkan pada peristiwa tahkim.  Jadi pemikiran mereka sebagai reaksi atas hasil tahkim dan perkembangan berikutnya. Pemikiran politik mereka yang pokok adalah mengenai eksistensi khilafah, masalah siapa yang berhak menjadi khalifah dan persyaratannya, masalah mekanisme pengangkatan dan pemakzulan khalifah. Khawarij berpendapat bahwa membentuk pemerintah dan mengangkat seorang imam bukan wajib syar’i, melainkan keadaanlah yang mengharuskannya ada.

Pemikiran politik khawarij yang cemerlang dan bercorak  demokratis adalah mengenai masalah siapa yang berhak menjadi khalifah atau imam, dan atau kepala negara kalau memang dibutuhkan oleh umat islam. Atas dasar pemahaman demokratis ini, teori politik khawarij tidak mengenal atau mengakui bahwa khalifah telah ditentukan oleh nabi melalui wasiatnya, dan tidak pula dapat menerima penyerahan kekuasaan kepada seorang dari khalifah yang sedang berkuasa, yakni sukses khalifah secara turun temurun dengan mengangkat putra mahkota.

Dalam praktek, kaum khawarij lebih mengutamakan orang-orang non Quraisy untuk menduduki jabatan khalifah. Alasanya yang dikemukakan agar mudah dimakzulkan apabila ia menyimpang dari ketentutan syariat. Karena, tidak ada‘ashabiyat yang melindunginya, atau keluarga besar yang akan membelanya. Kare itu, krtika mereka memakzulkan Ali sebagai khalifah, mereka menggantikannya dengan mengangkat Abdullah bin Wahab al-Rasibi, non-Quraisy. Sejarahpun mencatat kaum khawarij tampil sebagai salah satu  gerakan yang merongsong kekuasaan dua dinasti itu. Sikap radikal mereka tentu dipengaruhi oleh prinsip teori politik mereka mengenai  imamah. Bagi mereka lembaga ini urusan seluruh umat dan setiap individu memiliki hak yang sama atasnya. Bukan urusan dan hak sukutertentu seperti dimonopoli secara turun temurun . dua dinasti itu mereka tuduh telah merampas hak kaum muslimin.

Mengenai kualifikasi bagi sese0rang untuk menduduki jabatan khalifah disamping itu tidak di isyaratkan harus berasal dari suku tertentu, menurut khawarij, sang calon harus punya kekuatan,berilmu, berlaku adil, punya keutamaan dan watak. Sedangkan mekanisme pemilihanya diserahkan sepenuhnya  kepada kehendak kaum muslimin. Mereka punya hak penuh untuk menentukan orang terbaik, karena kesalihan dan kesucian hidup, secara bebas dan benar oleh seluruh kaum muslimin.

Kelompok muslim yang paham demokrat ini, tapi radikal dalam politik praktis, tidak menetapkan masa jabatan sorang khilafah.  Ini bearti khilafah boleh memangku jabatanya itu seumur hidup. Tentu saja ada persyaratan yang berat, yaitu selama ia tidak melanggar ketentuan syariat islam. Tapi, apabila ia melanggar dari prinsip-prinsip al Qur/an dan sunah nabi, kaum muslimin wajib memakzulkan atau membunuhnya apabila keadaan memungkinkannya. Mereka mengatakan “khalifah yang melanggar ajaran-ajaran islam, wajib dijatuhkan, bahkan d bunuh”, atau dalam menjalankan tugas kekhilafahanya ia tidak memperhatikan kemaslahatan kaum muslimin, ia menyimpang dan dari padanya berbuat zalim, ia wajib dimakzulkan atau dibunuh. Tapi, apabila ia memerintah dengan adil, menegakan ayariat, terhindar dari berbuat dosa, mereka sepakat, seorang khilafah boleh terus memangku jabatannya dalam waktu yang tidak ditentukan.

Pembahasan ringkas tentang pemikiran khawarij ini,  perlu dilihat faktor yang mewarnai pandangan politik mereka. Wellhausen melihatnya dari segi pemahaman mereka terhadap al-Qur’an menurutnya orang-orang yang menguasai al-Qur’an dengan baik dan mendalam saleh, dan jujur. Tapi, menurut Abu Zahroh kaum khawarij terdiri dari orang-orang Baduwi (masyarakat arab pinggiran) yang kurang mendalami al-quran namun mereka memiliki keikhlasan yang tinggi dan semangat yang besar untuk melaksanakan ajaran islam.  Demikian pemikiran politik mereka diwarnai oleh watak demokratis dan cara berfikir yang sederhana, serta pengaruh dari empiric-historis yang traumatik dan rekasi terhadap tatanan politik pemerintahan islam yang dimonopoli oleh orang-orang Arab Quraisy.[5]

Golongan khawarij mempunyai keyakinan teramat kuat terhadap agama yang dipeluknya, sehingga menolak terhadap segala bentuk perbuatan dosa. Sikap itu melahirkan dogma-dogmanya yang lain seperti keyakinan bahwa setiap perbuatan merupakan penting dari iman. Artinya setiap muslim berkewajiban melaksanakan kebajikan dan menjauhi kemungkaran serta serta mewujudkan persamaan hak diantara orang-orang yang beriman. Mereka menganggap kesalehan sebagai watak dan pribadi setiap muslim yang tidak dapat ditawar . oleh sebab itu, seorang pelaku dosa besar di vonis sebagai kafir meskipun ia telah mengucapakan dua kaliamt syahadat atau melaksanakan semua bentuk peribadatan.

Jika kepercayaan khawarij diterjemahkan kedalam prilaku politik, kita menemukan bahwa ciri utama adalah hak mutlak tidak hanya untuk menentang , tetapi juga memberontak terhadap pemerintah yang berkuasa, jika terbukti bahwa tindakan atau karakternya tidak segaris dengan standart buku undang-undang pemerintah atau imam. Menurut standar ini pemerintah atau imam harus lah seorang dengan pribadi utuh dan adil serta saleh tanpa mengabaikan ajaran-ajaran al-Qur’an. Karena pemujaan yang berlebihan terhadap al-qur’an mereka sering kali meremehkan arti sunnah atau hadist. Penyimpangan sekecil apapun dari ajaran al-qur’an yang dilakukan setiap muslim dianggap cukup menyebutnya sebagai penghina tuhan, sehigga patut diganjar dengan hukuman yang paling keras, tak peduli apakah ia rakyat jelata ataupun penguasa. Bila sang pelaku dosa itu kebetulan sorang pemimpin islam maka, cukup alasan bagi mereka untuk menumbangkan dan mengakhiri kekuasaanya.

Telah disebutkan dimuka bahwa kaum khawarij pada akhirnya membangkang dan bahkan membunuh Ali karena pandangan mereka negatif mengenai diri dan pribadinya. Memang sini penting persoalan yang mereka angkat bukan masalah kekhalifahan atau imammah, tetapi pelaksanakan syariat seperti yang digariskan dalam al-qur’an .siapapun yang melaksanakan syariat tersebut dianggap memenuhi syarat untuk menjadi imam atau pemimpin cara berpikir seperti itu mengiring mereka untuk menampik keafsahan kekalifahan yang semata berasal dari suku quraisy, prinsip kunci dalam alur pemikiran sunni yang dianggap mulia sepanjang sejarah negara islam.

Konsep khawarij secara kaku dan keras menolak pemerintahan secara itu seraya menegaskan bahwa siapapun, bangsawan arab maupun budak hina dari ethiopia, laki-laki atau perempuan, berhak memerintah umat islam selama ia mampu menunjukkan kecakapan dan determinasinya untuk melaksanakan ajaran-ajaran alquran serinci mungkin.[6]

 

D.    Pemikiran Politik Mu’tazilah

Kelompok Mu’tazilah pada awalnya merupakan gerakan beberapa sahabat yang “gerah” terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan ‘Ali. Setelah diketahui, setelah ‘Usman terbunuh, ‘Ali diangkat menjadi Khalifah. Zubeir dan Thalhah mengadakan perlawanan di Mekkah, sementara ‘Aisyah mendukung perlawanan mereka dari Mekkah. Pemberontakan mereka dapat dipadamkan dan ‘Aisyah dikembalikan ke Mekkah. Sementara di Damaskus, gubernur Mu’awiyah juga mengangkat senjata melawan ‘Ali. Melihat situasi yang demikian kacau, ‘Abdullah Ibn ‘Umar, Sa’ad Ibn Abi Waqqas, Zaid Ibn Tsabit bersikap netral. Mereka tidak mau terlibat dalam pertentangan dengan kelompok-kelompok diatas. Sebagai reaksi atas keadaan ini mereka sengaja menghindar (I’tazala) dan memperdalam pemahaman agama serta meningkatkan hubungan Allah.

Namun penamaan kelompok ini dengan Mu’tazilah baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan pendapat antara Washil Ibn ‘Atha’ dengan gurunya Hasan al-Bisri tentang penilaian terhadap orang yang berdosa besar ; apakah masih layak dikatakan mukmin tau tidak. Dalam masalah ini, Washil berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak ukmin dan tidak kafir, tetapi berada diposisi antara keduanya. Pendapat ini dikenal dengan (al-manzilah bain al-manzilatin). Pendapat Washil menjadi pokok utama Mu’tazila dan dianggap awal lahirnya kelompok Mu’tazilah dalam Islam.

Namun demikian, kelompok pertama dan kedua terdapat hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Doktrin manzilah bain al-manzilatain sendiri sebenarnya bukan hanya sekedar pandangan teologis, melainkan siap politik Mu’tazilah terhadap kondisi yng berkembang sehjak masa ‘Ali. Mereka memandang tokoh-tokoh yang terlibat perselisihan adalah sahabat-sahabat nabi yang saleh. Mereka terpecah, dan kedua-duanya tidak ada yang benar. Oleh sebab itu mereka menyerahkannya kepada Allah.

Kelompok Mu’tazilah menjadi sebuah aliran teologi rasional dan pemikiran-pemikirannya juga merambah kelapangan siyasah. Beberapa tokoh Mu’tazilah juga berbicara tentang khilafah, dengan berbasis teologi rasioanl mereka. Salah satunya Al-Qadhi Abd al-Jabar berpandangan bahwa pembentukan lembaga khilafah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’I, melainkan pertimbangan akal semata. Tidak ada nashsh yang secara tegas memerintahkan umat Islam untuk membentuk sebuah negara. Jadi akallah yang menjadi ukuran untuk menentukan pembentukan lembaga khilafah. Meskipun pendapat ini sama dengan khawarij yang berpikir sederhana, Mu’tazilah memberikan argumentasi filosofis dan teologis.

Sebagai aliran rasional, Mu’tazilah berpendapat bahwa dengan kemampuan akalnya, manusia dapat mengetahui empat hal : yaitu Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, baik dan jahat serta kewajiban mengerjakan yang baikan dan menjauhi yang jahat. Dengan adanya negara manusia dapat mengatur kehidupannya sesuai dengan kebaikan dan kemaslahatan mereka.

Meskipun berdasarkan akal, kalau umat Islam sudah membentuk suatu negara atau pemerintahan maka adalah kewajiban umat Islam untuk mematuhi dan melaksanakan segala konsekuensinya. Kekuatan hukum yang ditetapkan akal sama dengan yang didasarkan pada Al-Qur’an dan al-Sunnah. Sebab, akal adalah nikmat Allah yang paling berharga kepada manusia dan harus disyukuri.

Sesuai dengan pandangannya tentang pertimbangan akal untuk membentuk pemerintah, ‘Abd al-Jabbar menempatkan kepala negara sama dengan umat Islam lainnya. Menurutnya, kepala negara hanya orang yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting untuk mengurus kepentingan umat Islam berbeda dengan pendapat Syi’ah dan Sunni. Meskipun kepala negara memiliki posisi sebagai pemimpin politik dan spiritual umat Islam, ia tidak memiliki sifat-sifat ma’shum sebagaimana pandangan syi’ah.

Karenanya kalangan mana dan siapaun boleh menjai kepala negara, asalkan ia mampu melaksanakannya. Kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri, karena mereka yang paling tahu tentang keadaan mereka dan hal-hal yang mereka pilih. Namun demikian, Abd al-Jabbar mensyaratkan kepala negara harus:

1.      Merdeka. Karena pada saat itu perbudakan belum sepenuhnya dihapuskan.

2.      Mempunyai kekuatan akal dan nalar yang sehat dan lebih dari yang lainnya. Karena kepala negara harus cerdas agar dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik sesuai syariat.

3.      Mengandung doktrin al-‘adl wa al-tawhid, sebagaimna ajaran Mu’tazilah.

4.      Bersifat wara’. Syarat ini penting agar kepala negara tidak menyalahi kewengan dan kekuasannya. Dengan demikian, segala kebijakan dan keputusan politiknya diarahkan semata-mata hanya untuk kepentingan umat Islam, bukan pribadi atau golongan.

Tentang bagaimana pemilihannya Abd al-Jabbar berpendapat ia dipilih berdasarkan musyawarah. Sudirman M. Johan mengemukakan beberapa cara : pertama, pengangkatan sejumlah orang yang diakui dalam masyarakat dan jumlah harus ganjil agar mudah untuk menghitungnya. Kedua, dengan jalan musyawarah yang diikuti oleh orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan agama mendalam dan wawasan politik yang luas.

Dalam sejarah Islam, pola pertama ketika Umar membaiat Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Rasulullah SAW. Lalu umat pun mengadakan baiat mengikuti Umar. Sementara pola kedua terjadi ketika Umar menunjuk enam sahabat senior yakni Usman, Ali, Abd al-Rahman Ibn AWF, Thalhah, Sa’ad Ibn Abi Waqqas, dan Zubeir uuntuk menentukan penggantinya kelak. Dalam persidangan “tim khalifah” ini, akhirnya Usman terpilih menggantikan Umar.

Pemikiran ini kelihatannya sejalan dengan pandangan al-Mawardi, tokoh pemikir Sunni, yang mensyaratkan pengangkatan kepala negara melalui ahl al-ikhtiyar dan ahl al-hall wa al- aqd. Namun, Abd al-Jabbar hanya sampai pada tahap pemilihan, ia tidak secara eksplisit mengemukan pendapatnya tentang control lembaga terhadap kekuasaan negara. ini berbeda dengan al-Mawardi yang menyatakan kemungkinan kepala negara diturunkan dari jabatannya apabila sudah menyimpang dari keadilan. Pandangan ini juga berbeda dengan Khawarij yang secara ekstrem membolehkan kepala negara dicopot darijabatannya bahkan dihalalkan untuk membunuh apabila ternyata ia menyimpang.

Agaknya, luputnya pembicaraan ini karena Mu’tazilah sejak awal sudah mensyaratkan seorang kepala negara sebagai pribadi yang wara’. Tapi pertanyaannya adakah jaminan bahwa sikap wara’ ini  merupakan sesuatu yang konstan dan stabil dalam diri kepala negara ? apakah kepala negara otomatis dapat menjalankan kekuasaan dengan baik, tanpa tergoda oleh pengaruh-pengaruh yang dapat menggelincirkannya. Bukankah dalam pengalaman sejarah Khalifah Usman tergelincir pada praktik nepotisme yng akibatnya membawa pada kematiannya ?

Pada tataran ini, agaknya kita perlu memberikan apresiasi terhadap pemikiran Mu’tazilah yang mengagungkan akal. Tapi ketika berbica pertanggung jawaban kepala negara terhadap rakyatnya  Mu’tazilah malah mundur dan mengabaikannya. Jika akal yang lurus seharusnya mengkritik dan meminta pertanggung jawaban. Apalagi dalam doktrinnya, kepala negara diangkat melalui persetujuan rakyat lewat lembaga ahl al-hall wa al-aqd. Namun, dari empat aliran politik ini ada satu kesamaan yang patut dicatat, yaitu tidak satu pun aliran yang membicarakan masalah masa jabatan negara.[7]


 

BAB III

KESIMPULAN

 

Dari penjelasan tentang pemikiran aliran-aliran diatas, kita dapat menyimpulkan adanya tiga pemikiran politik negara dalam Islam. Pertama, aliran aristokrasi dan monarki yang diwakili oleh kelompok Sunni. Aliran ini mengklaim keistimewaan kelompok Quraisy sebagai kepala negara dan kepatuhan mutlak kepada kepala negara. dalam batas-batas tertentu gagasan Sunni tentang kepala negara sebagai bayang-bayang Allah dimuka bumi cenderung mengarahkan aliran ini kepada teokrasi. Kedua, aliran teokrasi yang diwakili oleh Syi’ah, kecuali Syiah Zaidiyah. Mereka menganggap kepala negara (imam) sebagai pemegang kekuasaan agama dan politik berdasarkan petunjuk Allah lewat wasiat Nabi-Nya. Karena itu, mereka memandang kepala negara adalah pribadi yang Mashum. Ketiga, aliran demokrasi yang dianut oleh Khawarij dengan beberapa catatan Mu’tazilah. Pandangan Khawarij merupakan reaksi atas pemikiran politik Sunni dan Syi’ah yang mengutamakan kelompok atau pribadi tertentu dalam kepemimpinan umat Islam.

 


Daftar Pustaka

1.      Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag. 2014. Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta: Prenadamedia Group.

2.      Dr. Khalid Ibrahim Jindan, 1995. Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintah Islam. Surabaya: Risalah Gusti.

3.      Dr. J. Suyuthi Pulungan, M.A. 2002. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: PT  Raja Grafindo Persada.




[1] . Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag,  Fiqh Siyasah : Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, hal. 119
[2] . Dr. Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam : Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintah Islam, hal. 10-11
[3] . Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag,  Fiqh Siyasah : Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, hal. 131-130
[4] . Dr. J. Suyuthi Pulungan, M.A, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, hal. 195
[5] . Dr. J. Suyuthi Pulungan, M.A, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, hal. 196-201
[6] . Dr. Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam : Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintah Islam, hal. 6-7
[7] .Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag,  Fiqh Siyasah : Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, hal. 141-147.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Omicron menyebar : Para Epidemiologi : Jakarta Terancam

Ilmu Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang pola penyebaran penyakit atau kejadian yang berhubungan dengan kesehatan,...