Rabu, 07 Maret 2018

Makalah Regionalisme dalam studi Ilmu Hubungan Internasional


 
REGIONALISME
 
BAB I

PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang

 

                   Interaksi dalam hubungan internasional hanya mengenal dua bentuk: kerja sama atau konflik. Kedua bentuk ini bisa saling mengisi satu sama lain. Dalam kerja sama, perbedaan sudut pandang dan kepentingan nasional sering kali mengarahkan pada saling berkonflik terkait dengan tujuan negara untuk melakukan kerja sama selalu didasari oleh keinginan untuk mengejar kepentingan. Sinergi antara berbagai tujuan dari negara-negara memerlukan kelapangan hati yang luas untuk saling memahami satu sama lain. Sebaliknya, ketika negara-negara saling berkonflik, solusi-solusi untuk mengatasinya dan menjaga agar konflik tidak timbul lagi adalah dengan kerja sama.

    

                   Di dalam makalah ini, regionalisme lebih menekankan pada bentuk interaksi kerja sama dari negara-negara yang berdekatan secara geografis. Wujudnya bisa dalam bentuk organisasi regional. Menggunakan analisis lebih dalam, regionalism lebih melihat pada proses-proses yang melatarbelakangi terbentuknya kerja sama regional tersebut: daya ikat apa yang pada akhirnya menyatukan negara-negara dalam suatu wadah kerja sama regional. Namun, jika dalam suatu analisis, suatu daya ikat tertentu mampu menyatukan negara-negara yang tidak saling bedekatan tapi tetap melakukan kerja sama.

 

                   Regionalisme yang menjadi studi penting di Hubungan Internasional, ketika pada kenyataannya, suatu permasalahan global tetap memerlukan penanganan dalam ruang lingkup kerja sama yang lebih kecil, yakni dalam tataran regional. Maka tim penulis akan menjabarkan hal-hal yang penting dalam kerja sama regional di kawasan Asia Tenggara dengan mengambil studi kasus ASEAN, dengan salah satu pilar ASEAN Community: ASEAN Political-Security Community sebagai fokus penelitian.

2.    Rumusan Masalah

 

                   Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan rumusan masalah, yaitu:

A.    Apa Pengertian Sebenarnya dari Regionalisme?

B.     Bagaimana Regionalisme bisa Terbentuk?

C.     Bagaimana Mekanisme Kerja Sama di Wilayah Asia Tenggara?

D.    Bagaimana Peran Indonesia dalam Kerja Sama Regional Tersebut?

 

3.    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan yang dilakukan adalah sebagai berikut:

A.  Sebagai syarat untuk menyelesaikan tugas Politik Luar Negeri dan Diplomasi Republik Indonesia.

B.  Untuk mengetahui secara lebih lanjut mengenai regionalisme dan kerja sama regional berupa ASEAN.

 

4.    Manfaat Penulisan

Penulisan makalah ini diharapkan bermanfaat sebagai:

A.  Menjadi sumber informasi terkait regionalisme dan kerja sama yang menjadi salah satu substansinya.

B.  Manfaat praktis: paper ini dapat digunakan untuk penulisan tugas-tugas selanjutnya seperti proposal maupun skripsi
 

BAB II

PEMBAHASAN

 

1.    Regionalisme

 

                   Regionalisme dalam Hubungan Internasional memiliki berbagai macam definisi dan biasanya para ahli membagi regionalisme menjadi dua jenis. Pertama, regionalisme yang berdasarkan kedekatan geografis yang dapat diartikan sebagai adanya koordinasi atau kerja sama dalam bidang ekonomi dan politik oleh negara – negara yang secara geografis berdekatan. Kedua, berdasarkan faktor non-geografis yang dapat diartikan sebagai aktivitas government dan non-government. Kegiatannya berupa peningkatan level ekonomi dan aktivitas politik di antara negara - negara yang tidak berdekatan secara geografis.[1] Kerja sama antar negara-negara yang berada dalam suatu kawasan untuk mencapai tujuan regional bersama adalah salah satu tujuan utama dari regionalisme. Dengan membentuk organisasi regional dan menjadi anggota organisasi regional, negara-negara tersebut telah menggalang bentuk kerja sama intra-regional. Dengan kata lain, negara-negara dalam satu kawasan telah melakukan distribusi kekuasaan di antara mereka untuk mencapai tujuan bersama.

 

                   Tetapi dalam praktik-praktik di lapangan, definisi region atau kawasan dan regionalisme sering tumpang tindih. Secara singkat kita dapat mengandaikan kawasan itu layaknya wadah dan regionalisme adalah isinya; kawasan itu layaknya jasad manusia sementara regionalisme adalah ruhnya. Namun, karena regionalisme ini adalah suatu ide yang sifatnya abstrak dan tidak berwujud, sulit untuk mendeteksi keberadaan regionalisme di suatu wilayah. Untuk mempermudah mengenali regionalisme yang tumbuh di suatu kawasan tertentu, terdapat 2 hal yang harus diperhatikan. Pertama, kita dapat melihat regionalisme dari proses-proses interaksi yang berlangsung di antara para aktor, baik negara maupun non-negara; kedua, kita dapat menggunakan pendekatan-pendekatan teori dalam memahami keberlangsungan regionalisme. Untuk lebih memperjelas, regionalisme dapat dianalogikan sebagai perahu regional, dimana negara-negara yang berada di suatu wilayah tertentu seperti berada di dalam perahu yang sama dalam mengarungi kehidupan. Jika ingin selamat, alangkah lebih baik jika negara-negara tersebut tidak saling menjatuhkan, lebih mampu menahan ego masing-masing, dan saling bekerja sama satu sama lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup masing-masing.[2]

 

                   Regionalisme sering dianalisis dengan melihat ikatan sosial (sosial cohesiveness) berupa ikatan etnis, ras, bahasa, agama, budaya, sejarah, dan kesadaran akan warisan bersama; ikatan ekonomi (economic cohesiveness) yaitu pola-pola perdagangan dan interdependensi ekonomi; ikatan politik (politic cohesiveness) berupa tipe rezim, ideology dan lainnya; serta ikatan organisasional (organizational cohesiveness) dengan melihat keberadaan atau eksistensi dari suatu institusi regional secara formal.[3]

 

                   Tekanan-tekanan politis (power) dan ekonomi (merkantilisme) sistem internasional adalah faktor utama yang dilihat kaum neorealis berkontribusi menumbuhkembangkan regionalisme. Bagi kaum neorealis, regionalisme sama saja dengan aliansi dan aliansi merupakan salah satu bentuk kerja sama dalam hubungan internasional. Para aktor saling melakukan tawar-menawar (bargaining) satu sama lain, melakukan koordinasi strategi-strategi, dan berupaya mencari kesepakatan mengenai tujuan-tujuan bersama meskipun dengan tingkat kepentingan nasional yang berbeda-beda.[4]

A.  Proses Regionalisme[5]

a.    Regionalisasi (Regionalization)

 

              Regionalisasi merujuk pada proses pertumbuhan integrasi kemasyarakatan dalam suatu wilayah dalam proses interaksi sosial dan ekonomi yang cenderung tidak terarah. Proses ini bersifat alami dimana dengan sendirinya negara-negara yang saling bertentangga, yang secara geografis berdekatan, melakukan serangkaian keraj sama guna memenuhi berbagai kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi sendiri. Terdapat dua istilah regionalisme dalam proses ini, yaitu Soft Regionalism dan Transnational Regionalism.


              Soft Regionalism mengarah pada proses otonom meningkatnya derajat interdependensi ekonomi yang lebih tinggi di wilayah geografis tertentu. Dorongan yang paling penting dalam proses terbentuknya regionalisasi ekonomi berasal dari pasar, arus perdagangan dan investasi pribadi, dan dari kebijakan serta keputusan perusahaan-perusahaan. Contohnya regionalisme di kawasan Asia-Pasifik yang terbentuk karena berkembangnya jaringan (network) bisnis regional dan firma-firma transnasional.

 

              Transnational Regionalism mencakup meningkatnya arus mobilitas orang-orang; perkembangan jejaring (network) sosial yang kompleks dan melalui berbagai saluran dimana ide-ide, sikap-sikap politis dan aliran-aliran pemikiran tersebar dari satu area ke area lain dengan mudah; serta terciptanya suatu masyarakat sipil regional transnasional.

              Dalam proses ini ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu a) regionalisasi tidak didasarkan pada kebijakan secara sadar dari negara maupun kelompok negara, maupun mensyaratkan pengaruh tertentu terhadap hubungan di antara negara-negara di dalam kawasan, dan b) pola-pola regionalisasi tidak perlu terpaku pada batas-batas dari negara. Migrasi, pasar dan jaringan sosial mungkin mengarah pada meningkatnya interaksi negara-negara dan menciptakan batas imajiner baru dari suatu region.

 

b.    Kesadaran dan Identitas Regional (Regional Awareness and Identity)

 

              Semua kawasan bisa dipahami dengan istilah cognitive region, yang berarti bahwa sama halnya dengan bangsa, maka suatu kasasan bisa dibayangkan seperti komunitas (masyarakat) yang berada pada suatu peta mental yang menonjolkan segi-segi tertentu dan mengabaikan hal lainnya. Artinya, sebuah kawasan itu hanyalah pengistilahan, pelabelan, pendefinisian orang saja terhadap wilayah geografis yang pengelompokannya didasarkan pada ciri-ciri tertentu. Proses kesadaran regional menekankan pada a) bahasa dan retorika; b) pada wacana tentang regionalisme dan berbagai proses politik dimana berbagai definisi tentang regionalisme dan identitas regional terus didefinisikan dan didefinisikan kembali; dan c) pada pemahaman umum serta pengertian yang diberikan pada kegiatan politik yang dilakukan oleh para aktor yang terlibat.

 

              Kesadaran regional adalah persepsi bersama tentang rasa memiliki pada suatu komunitas tertentu dengan faktor internal sebagai pengikat, dan sering didefinisikan dalam kerangka kesamaan budaya, sejarah atau tradisi agama. Kesadaran regional juga sering didefinisikan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan hal atau pihak lain yang berasal dari luar komunitas tersebut yang sifatnya adalah eksternal, terutama yang menyangkut masalah ancaman keamanan.

 

c.    Kerja Sama Regional Antar Negara (Regional Interstate Cooperation)

 

              Merujuk pada aktivitas kerja sama regional yang menunjukkan interdependensi termasuk negosiasi-negosiasi bilateral sampai pembentukan rezim yang dikembangkan untuk memelihara kesejahteraan, meningkatkan nilai-nilai bersama, serta memecahkan masalah bersama terutama yang timbul dari meningkatnya tingkat interdependensi regional. Kerja sama regional mungkin mengarah pada terciptanya institusi formal, namun dengan struktur longgar, berupa pertemuan-pertemuan rutin yang menghasilkan aturan-aturan sekaligus dengan mekanisme pelaksanaan dan persiapan untuk menindaklanjuti kegiatan tersebut.

              Kerja sama tersebut bisa memiliki tujuan yang sangat luas. Di satu sisi, kerja sama bisa menjadi sarana dalam merespon berbagai tantangan eksternal dan menempatkan posisi regional dalam berbagai institusi internasional atau forum-forum negosiasi. Di sisi lain, kerja sama bisa dikembangkan guna menjamin tercapainya berbagai tujuan, nilai-nilai bersama, atau memecahkan berbagai persoalan bersama, terutama permasalahan yang muncul dengan meningkatnya derajat interdependensi regional. Dalam bidang keamanan, kerja sama bisa beragam bentuknya- mulai dari stabilisasi balance of power secara regional, penanaman nilai-nilai kepercayaan bersama, hingga negosiasi pembentukan rezim keamanan.

 

d.   Integrasi Regional yang Didukung Negara (State Promoted Regional Integration)

 

              Salah satu subkategori penting dalam kerja sama regional adalah integrasi ekonomi regional. Integrasi regional melibatkan pembuatan kebijakan khusus oleh pemerintah yang disusun untuk mengurangi atau menghilangkan hambatan-hambatan dalam pertukaran barang, jasa dan orang-orang. Tahap awal integrasi seperti yang telah dijelaskan, cenderung berpusat pada pengurangan hambatan perdagangan seperti pembentukan kesepakatan penentuan tarif bersama secara internal dan pemudahan mobilisasi orang serta barang; regulasi pasar dan pengembangan kebijakan bersama baik dalam tataran mikro maupun makro.

 

e.    Kohesi Regional (Regional Cohesion)

 
              Kohesi bisa dipahami dalam dua hal, yaitu a) ketika kawasan memainkan suatu peran tertentu dalam hubungan di antara negara-negara (atau aktor utama lainnya) dari kawasan tersebut dengan negara-negara lainnya di dunia, dan b) ketika kawasan membentuk dasar pengaturan bagi kebijakan di dalam kawaan meliputi isu-isu yang cukup luas. Kohesi regional didasarkan pada berbagai model, salah satunya adalah pembentukan organisasi regional atau supranasional secara bertahap dalam konteks semakin mendalamnya integrasi. Model yang kedua adalah pembentukan seperangkat tatanan atau rezim (menyangkut peraturan, norma, dan nilai-nilai) yang tumpang tindih dan sangat kuat pengaruhnya terhadap negara-negara anggota. Model yang ketiga adalah perkembangan tatanan konstitusional dimana pembentukan dan perkembangan kohesi regional dimotori oleh kesepakatan penyusunan charter atau piagam tertentu. Keempat, kohesi mungkin didasarkan pada keberadaan hegemon regional yang kuat – dengan atau tanpa keberadaan institusi regional yang kuat – yang mempengaruhi kebijakan luar negeri negara-negara yang ada di dalam pengaruhnya dan juga mempengaruhi pilihan-pilihan kebijakan domestik negara-negara tersebut dalam cakupan isu atau bidang yang diperbolehkan untuk campur tangan.

 

B.  Organisasi dan Kerja sama Regional[6]
  
 
                   Organisasi regional adalah salah satu dimensi yang ada di dalam regionalisme dan sekaligus telah diikat oleh kesamaan tujuan berdasarkan ikatan geografis, sosial, budaya, ekonomi atau politik dan struktur formal yang memberikan arahan pada berbagai kesepakatan intergovernmental secara formal. Pada akhir tujuannya, keterbukaan organisasi bagi semua negara-negara tidak mempengaruhi ciri global mereka ketika tujuan-tujuan mereka mengacu pada nilai universalitas. Suatu organisasi regional hanya dimaksudkan khusus pada kategori negara-negara yang cakupannya lebih rendah dari tatanan global. Dan kerja sama yang bersifat regional memiliki beragam bentuk, seperti a) kerja sama fungsional mengacu pada area-area isu terbatas yang disepakati oleh negara-negara guna bekerja sama dalam isu-isu tertentu, misalnya dalam masalah keamanan ataupun lingkungan; b) kerja sama dalam masalah luar negeri dan kebijakan mengenai isu apapun, yang berarti bahwa para pemerintah secara sistematis saling memberitahu dan berkonsultasi satu sama lain, mencoba menerapkan posisi bersama dalam organisasi dan bahkan mungkin mengambil tindakan secara bersama.
Proses kerja
sama negara-negara di dunia ini tidak sama merata. Masing-masing memiliki keunikan dan kohesi sendiri. Namun secara umum, tingkat-tingkat kerja sama regional dapat dilihat menjadi lima jenis; pertama, asosiasi yang merupakan pertemuan-pertemuan negara untuk membahas isu tertentu, namun belum sampai pada tingkat merumuskan aturan bersama. Misalnya seperti summit meeting, annual meeting dan sejenisnya. Kedua, koordinasi yang merupakan pertemuan antar negara yang sudah terdapat kesepakatan dari masing-masing negara untuk saling membantu dalam menangani isu-isu tertentu. Koordinasi adalah sebuah cara untuk membuat kebijakan bersama di antara para aktor yang mempunyai kompetensi secara legal (hukum) atau formal mengenai aspek-aspek kebijakan tertentu.[7] Ketiga, harmoniasi yang merupakan suatu tingkatan dimana masing-masing negara saling melakukan adaptasi dan penyesuaian-penyesuaian terhadap kebijakan luar negeri negara-negara lain, namun belum sampai terdapat kesepakatan menyangkut masalah kewenangan otoritas, norma-norma yang akan dipakai bersama, dan mengenai struktur kerja sama. Teknik untuk melakukan harmonisasi adalah dengan mengadakan riset, peninjauan kembali, uji kebijakan, dan forum. Keempat, integrasi dimana kerja sama sudah mengarah pada pembentukan norma bersama serta terwujud dalam sebuah organisasi regional yang diserahi otoritas dan wewenang.

2.    Regionalisme di Asia Tenggara

 
                   Asia Tenggara merupakan sub kawasan Asia yang terdiri dari negara Indonesia, Filipina, Thailand, Kamboja, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Laos, Myanmar, dan Vietnam. Asia Tenggara berada di posisi yang strategis yakni berada di sebelah timur India dan di sebelah selatan Tiongkok, dimana kedua wilayah ini merupakan negara yang paling padat penduduknya di dunia sehingga bisa menjadi potensi pasar yang besar. Asia Tenggara dianugerahi sumber daya alam yang sangat melimpah yang menjadi prioritas utama sumber mata pencaharian penduduknya, selain itu, Asia Tenggara juga diberkahi dengan banyak suku yang membawa serta adat istiadat, budaya, dan pola-pola kehidupan yang membuat Asia Tenggara menjadi kaya akan keberagaman.


                   Untuk pertama kalinya, negara-negara Asia Tenggara mengenal organisasi regional pada saat terbentuknya South East Asia Treaty Organization (SEATO). Organisasi ini dibentuk sebagai upaya Amerika Serikat untuk membendung pengaruh komunis di Asia Tenggara, terutama pengaruh dari Uni Soviet melalui Tiongkok. Sifat pembentukannya tidak berasal dari regional sendiri, tetapi merupakan prakarsa dari luar kawasan Asia Tenggara dan tergolong dalam kategori aliansi.

 

                   Organisasi regional yang pertama secara sah yang dibentuk oleh negara-negara di kawasan ini adalah Association of Southeast Asia (ASA) pada tahun 1961. Negara anggotanya adalah Malaysia, Filipina, dan Thailand. Namun organisasi ini tidak bertahan lama karena pecahnya konflik Filipina dan Malaysia atas status daerah Sabah yang diklaim sebagai wilayah Filipina. Konflik ini mendorong terbentuknya Maphilindo (Malaysia, Filipina, dan Indonesia) yang akhirnya juga menghadapi akhir yang sama.[8] Selanjutnya Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand melakukan berbagai pertemuan konsultatif secara intens sehngga disepakati suatu rancangan Deklarasi Bersama (Joint Declaration) yang isinya mencakup kesadaran perlunhya meningkatkan saling pengertian untuk hidup bertetangga secara baik dan membina kerja sama di antara negara-negara di kawasan yang terikat oleh pertalian sejarah dan budaya.[9]

 

                   Kemudian pada 5-8 Agustus 1967, lima menteri luar negeri Asia Tenggara, yaitu Adam Malik (Inodnesia), Tun Abdul Razak (Malaysia), Thanat Khoman (Thailand), Rajaratnam (Singapura), dan Narciso Ramos (Filipina) menindaklanjuti Deklarasi Bersama dengan melakukan pertemuan dan penandatanganan Deklarasi ASEAN (The ASEAN Declaration) atau yang dikenal dengan Deklarasi Bangkok (Bangkok Declaration). Isi deklarasi tersebut adalah a) mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan perkembangan kebudayaan di kawasan Asia Tenggara; b) meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional; c) meningkatkan kerja sama dan saling membantu untuk kepentingan bersama dalam bidang ekonomi, sosial, teknik, ilmu pengetahuan dan administrasi; d) memelihara kerja sama yang erat di tengah-tengah organisasi regional dan internasional yang ada; dan e) meningkatkan kerja sama untuk memajukan pendidikan, latihan, serta penelitian di kawasan Asia Tenggara.[10]

 

                   Dengan ditandatanganinya Deklarasi Bangkok tersebut, suatu organisasi kawasan yang diberi nama Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations/ASEAN) telah resmi berdiri. Pada awalnya, organisasi ini bertujuan untuk menggalang kerja sama antar negara anggota dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi, mendorong perdamaian dan stabilitas wilayah, serta membentuk kerja sama dalam berbagai bidang kepentingan bersama.[11]

 

                   Pada perkembangan berikutnya, organisasi ini membuat berbagai agenda yang signifikan di bidang politik seperti Deklarasi Kawasan Damai, Bebas, dan Netral (Zone of Peace, Freedom, and Neutrality Declaration/ZOPFAN) yang ditandatangani tahun 1971. Kemudian, pada tahun 1976 lima negara anggota ASEAN tersebut juga menyepakati Traktat Persahabatan dan Kerja Sama (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia/TAC) yang menjadi landasan bagi negara-negara ASEAN untuk hidup berdampingan secara damai.[12]

 

                   Dalam bidang ekonomi, Agreement on ASEAN Preferential Trading Area (PTA) berhasil disepakati dan ditandatangani di Manila pada 24 Februari 1977 yang menjadi landasan untuk mengadopsi berbagai instrument dalam liberalisasi perdagangan on a preferential basis. Pada perkembangan selanjutnya, Agreement on the Common Effective Preferential Tariff (CEPT) Scheme for the ASEAN Free Trade Area berhasil disepakati di Singapura pada 28 Januari 1982. Kemajuan tersebut mendorong negara-negara lain di Asia Tenggara bergabung menjadi anggota ASEAN (Brunei Darussalam pada 7 Januari 1984; Vietnam pada 29-30 Juli 1995; Laos dan Myanmar pada 23-28 Juli 1997 serta Kamboja pada 30 April 1999).[13]

 

                   ASEAN telah mengalami perkembangan dari masa ke masa sesuai dengan cita-cita para pendiri ASEAN untuk menjalin persahabatan dan kerja sama dalam menciptakan wilayah yang aman, damai, dan makmur. Cita-cita tersebut kemudian dipertegas dalam kesepakatan Bali Concord I pada tahun 1976. Dalam kesepakatan ini, para pemimpin ASEAN menyepakati program aksi yang mencakup kerja sama di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan penerangan, keamanan serta peningkatan mekanisme ASEAN. Kesepakatan tersebut menandai tahapan penting bagi kerangka kerja sama ASEAN. Dalam perkembangan selanjutnya, ASEAN bersepakat untuk membentuk suatu kasasan yang terintegrasi dalam satu masyarakat negara-negara Asia Tenggara yang terbuka, damai, stabil dan sejahtera, saling peduli serta terikat bersama dalam kemitraan dinamis di tahun 2020. Harapan tersebut dituangkan dalam Visi ASEAN 2020 yang ditetapkan oleh para kepala negara ASEAN pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN (KTT ASEAN) di Kuala Lumpur tanggal 15 Desember 1997. Untuk mewujudkan harapan tersebut, ASEAN mengesahkan Bali Concord II pada KTT ke-9 ASEAN di Bali tahun 2003 yaitu menyepakati pembentukan masyarakat ASEAN (ASEAN Community) yang dipertegas kembali pelaksanaannya pada KTT ke-12 pada Januari 2007. Pada KTT ini, ditandatangani pula Deklarasi Cebu tentang percepatan pembentukan ASEAN Community pada tahun 2015. ASEAN Community terdiri dari 3 pilar, yakni ASEAN Political-Security Community (APSC), ASEAN Economic Community (AEC), dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC). Ketiga pilar tersebut terikat secara erat dan saling memperkuat untuk mewujudkan perdamaian, kestabilan, dan kesejahteraan bersama yang abadi. [14]

 

3.    Studi Kasus: Implementasi ASEAN Political-Security Community (APSC) di Wilayah Asia Tenggara

 

A.  Selayang Pandang APSC[15]

 

                   Pembentukan masyarakat politik-keamanan ASEAN (APSC) ditujukan untuk mempercepat kerja sama politik dan keamanan di ASEAN dalam mewujudkan perdamaian di kawasan regional dan global. APSC bersifat terbuka dan berdasarkan pada pendekatan keamanan yang komprehenif serta tidak ditujukan untuk membentuk suatu pakta pertahanan/aliansi militer tetapi kebijakan luar negeri bersama. APSC terdiri atas tiga karakteristik utama, yaitu a) masyarakat yang mengacu pada pertauran dengan kesamaan nilai dan norma; b) kawasan yang kohesif, damai, dan berdaya tahan tinggi dengan tanggung jawab bersama untuk menciptakan keamanan komprehensif; dan c) kawasan yang dinamis dan berpandangan keluar. Koordinasi kerja sama APSC dilakukan melalui Dewan Keamanan Masyarakat Politik-Keamanan ASEAN (ASEAN Political-Security Community Council). Pada APSC Council ini, setiap negara biasanya diwakili oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan sebagai ketua dan Menteri Luar Negeri sebagai wakilnya.

 

                   APSC Council bertugas untuk a) menjamin pelaksanaan keputusan-keputusan KTT di bidang politik-keamanan; b) mengkoordinasikan kerja sama berbagai sektor yang berada di lingkup kerja sama politik-keamanan dan isu-isu yang berakitan, serta c) menyerahkan laporan dan rekomendasi kepada KTT ASEAN mengenai hal yang terkait dengan perkembangan politik-keamanan wilayah Asia Tenggara. Perwujudan APSC didasarkan pada berbagai instrument politik ASEAN yang telah ada seperti Piagam ASEAN, ZOPFAN, TAC, dan piagam PBB serta prinsip-prinsip hukum internasional terkait lainnya.

 

B.  Isu Politik-Keamanan ASEAN (APSC): Keamanan Maritim (Maritime Security) dan Peran Indonesia dalam Menanggulangi Isu Bersama ASEAN.[16]

 

                   Declaration on ASEAN Concord II 2003 yang dibentuk di Bali, menekankan bahwa isu maritime bersifat lintas batas negara, sehingga penanganannya harus dilakukan secara menyeluruh, terintegrasi dan komprehensif. Perairan di Asia Tenggara dan Laut Tiongkok Selatan memiliki arti penting bagi perekonomian, perdagangan, transportasi, dan komunikasi seluruh negara anggota ASEAN serta kekuatan-kekuatan maritime global. Selain itu, kawasan Asia Tenggara dinilai memiliki potensi konflik yang berkaitan dengan masalah maritime dan rentan terhadap ancaman keamanan maritim yang bersifat non-tradisional. Oleh karena itu, isu maritime perlu ditangani secara sinergis oleh berbagai ASEAN sectoral bodies, sesuai fokus dan kewenangannya serta perlu dikoordinasikan secara komprehensif.

 

                   Kerja sama maritim serta pembahasan isu-isu maritim dalam kerangka ASEAN dilakukan dalam berbagai mekanisme, diantaranya ASEAN Regional Forum (ARF), ASEAN Defence Ministerial Meeting (ADMM), ASEAN Defence Ministerial Meeting Plus (ADMM-Plus), ASEAN Maritime Forum (AMF) dan Expanded ASEAN Maritime Forum (EAMF), serta sekitar 13 mekanisme ASEAN lainnya seperti ASEAN Foreign Ministers Meeting (AMM), ASEAN Ministers Meeting on Transnational Crime (AMMTC), ASEAN Fisheries Consultative Forum (AFCF), ASEAN-Mekong Basin Development Cooperation (AMBDC), ASEAN Cruise Tourism, Head of ASEAN Coast Guards Meeting, ASEAN Conectivity Coordinating Committee (ACCC), ASEAN Ministerial Meeting on Environment, ASEAN Ministerial Meeting on Agriculture and Forestry (AMAF), Meeting of the ASEAN Tourism Ministers (MATM), ASEAN Connectivity Coordinating Committee, ASEAN Transport Ministers Meeting (ATM), ASEAN Law Ministers Meeting (ALAWMM) / ASEAN Senior Law Officials Meeting (ASLOM), dan lain-lain.

 

                   Mengingat signifikansi isu maritim di kawasan Asia Tenggara, Indonesia pada tahun 2010 menjadi pemrakarsa pembentukan sebuah forum dialog isu-isu maritim antar negara anggota ASEAN yang disebut AMF, dan forum ini menjadi sarana untuk berbagi informasi serta eksplorasi kerja sama ASEAN di bidang maritim. Mengingat keterkaitan isu maritim ASEAN dengan kawasan dan negara-negara lainnya di kawasan, pada tahun 2012 telah dibentuk pula Expanded AMF yang menjadi forum dialog antara negara-negara ASEAN dan mitra wacara ASEAN. Dalam praktiknya, AMF dan EAMF membahas antara lain sinergi isu kerja sama maritim di bawah badan ASEAN. Topik-topik lain yang juga dibahas dalam forum ini adalah penyelesaian sengketa maritim, penanganan IUU Fisihing, Freedom of Navigation dan pelaksanaan aktivitas militer di EEZ.

 

                   Selama keketuaan ASEAN 2011, Indoensia terus memainkan peran penting dalam mendorong pengembangan kerja sama maritim di kawasan Asia Tenggara, khususnya melalui mekanisme AMF. Setelah menyelenggarakan pertemuan ke-1 AMF di Surabaya pada 28-29 Juli 2010, Indonesia terus mendorong penguatan AMF melalui partisipasi aktif dalam pertemuan ke-2 AMF di Thailand pada 17-19 Agustus 2011. Seiring dengan semakin meningkatnya relevansi kerja sama maritim di kawasan dan berkembangnya minat negara di luar kawasan untuk bergabung dengan AMF, pada KTT ke-19 ASEAN di Bali, 17 November 2011, para pemimpin ASEAN menyambut baik usulan perluasan AMF menjadi EAMF dengan mengikutsertakan negara non-ASEAN di kawasan Asia Timur. Hal ini dilakukan untuk memajukan semangat dan kerja sama maritim di kawasan dengan tetap menjaga sentralitas ASEAN.

 

                   Dalam rangka memperkuat kerja sama maritim, Indonesia berpandangan bahwa kerja sama praktis dan konkrit dapat mencakup tema dan isu seperti freedom of navigation, search and rescue, marine ecosystem and bio-diversity, marine environmental concerns, sea piracy, ataupun combating transnational crime at sea. Hal ini sangat krusial dalam rangka mengubah cara pandang terhadpa isu laut yang bukan semata sebagai arena yang penuh dengan pertentangan dan konflik, tetapi juga berpotensi sebagai arena kerja sama yang saling menguntungkan.

 

                   Peran penting Indonesia dalam kerja sama di bidang keamanan maritime telah mendapat pengakuan dalam kerangka ARF. Hal ini terutama terlihat dari peran Indonesia sebagai co-chair dari ARF Intersessional Meeting (ISM) on Maritime Security selama 6 tahun yang telah mendorong peserta ARF dalam memajukan kerja sama di bidang ini.

 

C.  Kepentingan Indonesia dalam APSC.[17]

 

                   Kebijakan politik luar negeri Indonesia dalam mendorong pembentukan ASEAN Community dilandasi oleh kepentingan nasionalnya. Sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, maka kepentingan nasional Indonesia adalah melindungi kedaulatan negara dan menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, melindungi keselamatan dan kehormatan bangsa serta ikut serta secara aktif dalam usaha-usaha perdamaian dunia. Kepentingan ini dirumuskan dalam upaya Indonesia mengembalikan posisinya dalam konstelasi politik regional dan internasional.

 

                   Indonesia, sebagai salah satu negara yang sangat giat menyuarakan kerja sama basis politik dan keamanan karena tujuan politik luar negerinya berupa mewujudkan dan memelihara lingkungan kawasan yang stabil, aman dan mengarah pada kemakmuran bersama; mencoba untuk menempatkan ASEAN sebagai pilar utama politik luar negerinya. Hanya dengan lingkungan kawasan yang kondusiflah Indonesia dapat berkonsentrasi untuk menata kehidupan politik dan ekonominya.

 

                   Dengan posisi Indonesia yang merupakan negara perumus ASEAN dan negara yang cukup aktif dalam menyelesaikan isu-isu APSC, hal ini tentu akan menjadi bargaining position yang akan meningkatkan meningkatkan bobot Indonesia di mata dunia. Secara tidak langsung, pada akhirnya Indonesia akan menjadi negara yang lebih disegani dan dihormati dalam sistem internasional.

 

 

 

BAB III
PENUTUP

1.    Kesimpulan

A.    Regionalisme yang berdasarkan kedekatan geografis yang dapat diartikan sebagai adanya koordinasi atau kerja sama dalam bidang ekonomi dan politik oleh negara – negara yang secara geografis berdekatan. Berdasarkan faktor non-geografis, regionalisme dapat diartikan sebagai aktivitas government dan non-government.

B.       Regionalisme sering dianalisis dengan melihat ikatan sosial (sosial cohesiveness) berupa ikatan etnis, ras, bahasa, agama, budaya, sejarah, dan kesadaran akan warisan bersama; ikatan ekonomi (economic cohesiveness) yaitu pola-pola perdagangan dan interdependensi ekonomi; ikatan politik (politic cohesiveness) berupa tipe rezim, ideology dan lainnya; serta ikatan organisasional (organizational cohesiveness) dengan melihat keberadaan atau eksistensi dari suatu institusi regional secara formal.

C.       Proses regionalism terdiri atas regionalisasi, kesadaran dan identitas regional, kerja sama regional antar negara, integrasi regional yang didukung negara serta kohesi regional.

D.    Salah satu contoh dari regionalism adalah kerja sama regional Asia Tenggara yaitu ASEAN.

E.     ASEAN memiliki tiga pilar ASEAN Community, salah satunya adalah ASEAN Political-Security Community (APSC) yang menjadi fokus penelitian ini.

F.     Indonesia, sebagai salah satu negara yang sangat giat menyuarakan kerja sama basis politik dan keamanan karena tujuan politik luar negerinya berupa mewujudkan dan memelihara lingkungan kawasan yang stabil, aman dan mengarah pada kemakmuran bersama; mencoba untuk menempatkan ASEAN sebagai pilar utama politik luar negerinya. Hanya dengan lingkungan kawasan yang kondusiflah Indonesia dapat berkonsentrasi untuk menata kehidupan politik dan ekonominya.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Literatur dan Jurnal

Amri, Fauzan. 2008. Regionalisme di Asia Tenggara. Universitas Padjadjaran: Skripsi.

 

Fauzi, Nabil Ahmad. 2008. Politik Luar Negeri Indonesia terhadap ASEAN (Studi Kasus: Proses Pembentukan ASEAN Community). Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah: Skripsi.

 

Fawcett, Louse dan Andrew Hurrel. 1995. Regionalism in World Politics. United States: Oxford University Press.

 

Groom dan Paul Taylor. 1990. Framework for International Cooperation. London: Pinter Publishers.

 

Mansfield, Edward dan Helen Milner. 1999. The New Wave of Regionalism. University of Arizona: MIT Press.

 

Nurmulya, Oka. 2007. ASEAN (Association of Southeast Asian Nations). Universitas Padjadjaran: Makalah.

 

Sekretariat Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN. 2015. ASEAN Selayang Pandang Edisi Ke-21. Jakarta: Kementerian Luar Negeri Indonesia.

 

Suparman, Nuraeni, et. al. 2010. Regionalisme dalam Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Suratimantra, Ayuningtyas. 2008. Dampak Kudeta Militer Thailand 2006 terhadap Stabilitas Keamanan di Kawasan Asia Tenggara (2006-2007). Universitas Padjadjaran: Skripsi.

 

Winarno, Budi. 2008. Politik Regionalisme dan Tantangan ASEAN di Tengah Arus Besar Globalisasi. Spektrum Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Vol. 5 No. 2.

 

 



[1] Mansfield, Edward dan Helen Milner. 1999. The New Wave of Regionalism. University of Arizona: MIT Press, hal. 589-627.
[2] Suparman, Nuraeni, et. al. 2010. Regionalisme dalam Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 5.
[3] Fawcett, Louse dan Andrew Hurrel. 1995. Regionalism in World Politics. United States: Oxford University Press, hal. 38.
[4] Suparman, Nuraeni, et. al. Op cit, hal. 40-41.
[5] Fawcett, Louse dan Andrew Hurrel. Op cit, hal. 39-40.
[6] Suparman, Nuraeni, et. al. Op cit, hal. 79-85.
[7] Groom dan Paul Taylor. 1990. Framework for International Cooperation. London: Pinter Publishers, hal. 29.
[8] Suratimantra, Ayuningtyas. 2008. Dampak Kudeta Militer Thailand 2006 terhadap Stabilitas Keamanan di Kawasan Asia Tenggara (2006-2007). Universitas Padjadjaran: Skripsi, hal. 57.
[9] Sekretariat Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN. 2015. ASEAN Selayang Pandang Edisi Ke-21. Jakarta: Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, hal. 2.
[10] Ibid, hal. 3.
[11] Ibid.
[12] Amri, Fauzan. 2008. Regionalisme di Asia Tenggara. Universitas Padjadjaran: Skripsi, hal. 63.
[13] Nurmulya, Oka. 2007. ASEAN (Association of Southeast Asian Nations). Universitas Padjadjaran: Makalah, hal. 20.
[14] Suparman, Nuraeni, et. al. Op cit, hal. 233.
[15] Sekretariat Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN. Op cit, hal. 14-16.
[16] Ibid, hal. 34-37.
[17] Fauzi, Nabil Ahmad. 2008. Politik Luar Negeri Indonesia terhadap ASEAN (Studi Kasus: Proses Pembentukan ASEAN Community). Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah: Skripsi, hal. 47-70

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Omicron menyebar : Para Epidemiologi : Jakarta Terancam

Ilmu Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang pola penyebaran penyakit atau kejadian yang berhubungan dengan kesehatan,...