POLITIK & GENDER
DIBANGLADES & INDIA
OLEH :
ANNISA ROSALINA (1601114560)
DESBIN RAJA IRSANTO SIALLAGAN
(1501113385)
DINA OCTAVIA (1501121557)
MINDY SUCI PRATIWI
(1501116519)
LIDIA MELITA (1601110197)
JURUSAN HUBUNGAN
INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL
DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS RIAU
2017/2018
KATA PENGANTAR
Salam Sejahtera
Puji dan
syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas limpahan berkat dan
kasih-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Gender
& Politik Di Banglades & India”. Penulisan makalah ini bertujuan untuk
dapat menjadi bahan tambahan dalam bacaan mengenai isu – isu kontemporer dan
sekaligus sebagai salah satu tugas untuk memenuhi salah satu tugas Politik
Pemerintahan Asia Selatan
Penulis
berharap dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua,
terutama kepada penulis sendiri dan dapat menambah wawasan kita mengenai
pemikiran-pemikiran politik dari Timur. Makalah ini tidaklah sempurna, oleh
karena itu kami penerimaan dari pembaca atas karya ini dan apabila
berkesempatan untuk memberikan saran serta kritikan selanjutnya untuk dapat
terus memperbaiki karya – karya selanjutnya. Terima kasih.
Pekanbaru, 18 Oktober 2017.
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Diera
globalisas-demokrasi saatini, dimana laju informasi dan juga kebabasan
berpendapat berkembang dengan pesat dan cepat, perkembangan pemikiran didunia
ini semakin cepat. Peradaban manusia yang bermoral dan juga menjunjung tinggi
nilai-nilai kesetaraan juga semakin berkembang. Pemikiran manusia antara yang
satu dan yang lainnya saling berkaitan dan mendukunhg antar satu dan lainnya.
Semua ini diakibatkan perkembangan komunikasi yang mendukung pertukaran
informasi serta lingkungan yang bebas dalam berpikir dan memberi ruang bagi
manusia untuk memikirkan kebutuhan yang baru.
Manusia yang diberikan
ruang mulai memikirkan hal-hal baru, salah satunya adalah kesetaraan status
bagi seluruh masyarakat. Didorong oleh rasa adil dan ingin mensejahterakan
seluruh umat manusia, timbul pemikiran equalitas antar masyarakat, antar priaa
dan wanita, antar golongan dan lainnya. Dan dalam subjek kali ini yang akan
dibahas adalah kesetaraan gender, antara wanita dan pria.
Perhatian masyarakat
dunia mengenai keterwakilan perempuan dalam parlemen semakin meningkat dan
menjadi diskusi yang cukup menarik. Hal tersebut disebabkan oleh semakin
berkembangnya peranan perempuan yang lebih kompleks dalam kehidupan sosial.
Perempuan memiliki peran penting dalam pembangunan suatu bangsa. Isu kesetaraan
Hak perempuan merupakan problematika yang rumit. Hal tersebut disebabkan oleh
kompleksnya permasalahan dan kesetaraan perempuan dalam politik.
Kesetaraan perempuan
dalam bidang politik tidak semata-mata berdasarkan jumlah kuota,namun juga
menyangkut status sosial perempan dalam kehidupan sosial. Setiap partisipasi
politik prempuan di India memerlukan studi tentang peranan mereka selama
gerakan kebebasan dan peran mereka dalam proses politik dan organisasi. Peran
ini seperti diketahui dipengaruhi oleh Agama,adat istiadat,patriarkhi,dan
faktor lainnya. Jika melihat dari beberapa laporan mengenai keterlibatan
perempuan dalam parlemen,India masih berada pada peringkat yang cukup jauh
dibandingkan dengan Negara demokrasi lainnya. Negara Bangladesh tergolong salah satu
Negara termiskin di dunia. Tetapi walaupun pendapatan per kapita di Negara
Bangladesh tergolong rendah,apa yang dicapai di sektor kesehatan dan pendidikan
bagi kaum perempuan masih jauh lebih baik dibandingkan dengan Negara-negara
tetangga lainnya di Asia selatan. Kalau dilihat situasi standar di Asia selatan
10 tahun yang lalu,dimana anak perempuan tertinggal jauh di belakang anak
laki-laki,maka sekarang di sekolah menengah anak perempuan maupun anak
laki-laki sama banyak nya. Ini merupakan perubahan terbesar yang terjadi di
Bangladesh.
Perubahan-perubahan ini tidak lain
disebabkan oleh efek dari perkembangan pemikiran manusia dan juga ideologi yang
berlaku. Penelitian ini nantinya akan membahas terkait isu gender dan politik
di Banglades dan India.
B. RUMUSAN MASALAH
Perubahan-perubahan dalam lingkungan sosial terutama
dalam pembedaan perlakuan antara pria dan wanita merupakan efek dari perubahan
era serta perkembanga pemikiran. Karya
ilmiah ini ditulis untuk memaparkan isu gender yang terjadi di India dan
Banglades yang ada saat ini dengan membandingkannya dengan isu terdahulu dengan
rumusan masalah : “Bagaimana Isu Gender dan Politik di Banglades dan India saat
ini?”
C. TUJUAN PENULISAN
Karya ilmiah ini ditulis dengan tujuan untuk mengetahui
keadaan sossial dari isu gender terhadap perpolitikan di India dan Bangladesh
yang berkembang saat ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. GENDER
& POLITIK
Politik secara umum sering didefinisikan sebagai ilmu dan sebagai seni
maupun praktik tentang pemerintahan -yang di dalamnya terdapat aspek kekuasaan
yang terorganisir, institusi-institusi kekuasaan, ataupun
perlawanan-perlawanan-. Konsep politik ini hampir selalu dihubungkan dengan
pemerintahan negara. Ketika berbicara politik, orang kemudian merujuk pada
partai politik, lembaga eksekutif atau legislatif. Padahal, pada dasarnya,
manusia adalah homo politicus, yang berarti bahwa mereka memiliki
kecenderungan berpolitik dalam kehidupan sehari-hari. Mereka mempraktikkan
perjuangan, perlawanan, pertentangan, kompetisi, serta strategi-strategi untuk
mencapai tujuan tertentu. Selalu terjadi hubungan kekuasaan antara aktor-aktor
sosial yang berbeda dalam masyarakat dalam bentuk hubungan individual maupun
kolektif baik secara vertikal maupun horisontal.
Politik adalah unsur yang penting dalam pemerintahan suatu Negara.
Politik merupakan sebuah aspek utama yang memegang pengaruh terhadap
bidang-bidang lainnya, baik itu pendidikan, ekonomi, keamanaan dan lain-lain.
Konsep politik tersebut mengacu pada hubungan kekuasaan yang lebih luas, tidak
hanya pada tataran elit politik, tetapi pada masyarakat umum dengan berbagai
kategori berbeda yang terimplikasi di dalamnya misalnya gender, kelas,
golongan usia, etnisitas, dan sebagainya.
Gender menjadi aspek dominan dalam definisi
politik tersebut. Dalam relasi kelas, golongan usia maupun etnisitas, gender
juga terlibat di dalamnya. Hubungan gender dengan politik dapat
ditemukan mulai dari lingkungan keluarga antara suami dan istri sampai pada
tataran kemasyarakatan yang lebih luas, misalnya dalam politik praktis. Tataran
hubungan kekuasaan itu pun bervariasi, mulai dari tataran simbolik, dalam
penggunaan bahasa dan wacana sampai pada tataran yang lebih riil dalam masalah
perburuhan, migrasi, kekerasan, tanah, dan keterwakilan perempuan dalam partai
politik. Dimensi-dimensi yang dapat menjadi dasar analisis terhadap relasi gender
dan politik pun beragam, mulai dari dimensi kultural, ideologis, sampai
historis. Hubungan gender dengan politik ini penting untuk dicermati
karena banyak permasalahan yang ada dalam masyarakat bertolak dari ketimpangan
hubungan keduanya.
Dinegara demokrasi, politik dan Gender harus saling berikatan kuat. Demokrasi
mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran serta penuh bagi laki-laki
maupun perempuan, atas dasar prinsip persamaan derajat, dalam semua wilayahdan
tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan keputusan.
Platform Aksi Beijing dan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms
of Discrimination Against Women atau CEDAW) merekomendasikan agar semua
pemerintah di dunia agarmemberlakukan kuota sebagai langkah khusus yang
bersifat sementara untuk meningkatkan jumlah perempuan di dalam jabatan-jabatan
appointif (berdasarkanpenunjukan/pengangkatan) maupun elektif (berdasarkan
hasil pemilihan) pada tingkat pemerintahan lokal dan nasional.
Diskriminasi berdasarkan gender masih terjadi pada seluruh aspek
kehidupan, dan semua sector pembangunan di seluruh negeri. Ini adalah
fakta yang tidak dapat dipungkiri, meskipun ada kemajuan yang cukup
pesat dalam kesetaraan gender dewasa ini. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat
bervariasi di berbagai negara atau wilayah. Tidak ada satu wilayah pun di
negara berkembang dimana perempuan telah menikmati kesetaraan dalam hak-hak
hukum, sosial dan ekonomi. Kesenjangan gender dalam kesempatan dan kendali
atas sumber daya, ekonomi, kekuasaan, dan partisipasi politik dan
pengambilan keputusan terjadi di mana-mana. Perempuan baru pada tataran sebagai
objek pembangunan belum menyasar sebagai pelaku pembangunan. Salah satu factor
yang menyebabkan lingkaran ketidakadilan gender ini berada pada tataran
kebijakan yang masih bias gender.
Beberapa waktu terakhir, isu kesetaraan gender telah menjadi hal
menonjol dalam platform pembangunan, tidak saja di Indonesia, tetapi juga di
dunia internasional. Kitatentu memahami bahwa selama ini perempuan secara
sosial terpinggirkan. Budaya partriarkis yang tidak ramah pada perempuan. Ada
konstruksi sosial budaya yang menempatkanperempuan seolah-olah hanya boleh
mengurus soal-soal domestik saja. Tak ada hak untuk merambah area public yang
lain. Kenyataan ini menunjukkan bahwa keyakinan itu masih tertanamkuat.
Persoalan perwakilan perempuan menjadi penting manakala kita sadar bahwa dalam
kehidupan sehari-hari kita melihat perempuan tidak secara proporsional terlibat
dalam kehidupan di ranah publik. Hal ini sangat menyedihkan apabila dilihat
dari komposisi penduduk antara laki-laki dan perempuan yang hampir berimbang.
Sebagai bentuk representasi perempuan di legislative masih sangat minim, yang
masih menjadi pemikiran kita bersama
Saat ini,jika membahas masalah gender didalam politik, masalah yang
paling utama adalah partisipasi wanita didalam politik itu sendiri.
Representasi perempuan dalam bidang politik boleh dikatakan masih jauh dari apa
yang kita harapkan. Pendidikan politik merupakan salah satu aktivitas yang
bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan orientasi-orientasi politik pada
setiap individu maupun kelompok. Proses pendidikan politik dilakukan agar
masyarakat luas dapat menjadi warga negara yang sadar dan menjunjung
tinggi akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan
bernegara, serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender.
Permasalahan
keterwakilan dalam ranah politik menjadi pemabahasan ynag alot akhir-akhir ini.
Berbagai argument bermunculan dengan keterlibatan perempuan dalam kancah
politik baik itu yang pro da nada pula yang kontra dengan hal tersebut. Dalam
sebuah penilitian yang dilakukan oleh WRI
(Women Research Institute) yang dipostkan dalam website resminya mengatakan
bahwa realitas kepemimpinan perempuan di
daerah ada 2 pendapat pro dan kontra:
Pendapat yang pro, didasarkan pada
argumentasi bahwa pemimpin perempuan akan lebih peka terhadap permasalahan dan
diharapkan mampu memperjuangkan kepentingan perempuan.
Pendapat yang kontra, didasarkan pada argumentasi:
·
Nilai-nilai
agama yang ditafsirkan secara tekstual,
·
Nilai
budaya, dan pemahaman gender yang menghambat perempuan
·
Pemimpin
perempuan tidak dengan sendirinya mampu memperjuangkan kepentingan perempuan.
Dari
sumber diatas jelas bahwa apa yang diwacanakan selama ini bukan hanya sebatas
tulisan teoritik saja akan tetapi fakta yang riil yang terdapat dilapangan.
Penafsiran secara tekstual terhadap nilai-nilai agama menjadi permasalah yang
utama. Dimana Islam sering diklaim sebagai Agama yang tidak mensyaratkan
perempuan sebagai penguasa atau pemimpin yang berdasarkan pada berbagai macam
dalil.
Factor
penghabat yang kedua adalah nilai budaya, dimana masih kental budaya Patriarki
yang dianut dalam masyarakat. Perempuan hanya terdapat didalam lingkungan
domestic dan tidak diharuskan dalam wilayah public karena itu merupakan
wilayahnya kaum laki-laki. Perempuan hanya menjadi pelayan rumah tangga yang
baik dan menuruti semua kehendak kepala rumah tangganya yaitu suami atau orang
tua.
Persepsi
bahwa perempuan itu lemah, ketidak tegasan, lambat dalam menentukan keputusan
adalah menjadi factor yang selanjutnya sebagai penghambat akan keterlibatan
perempuan dalam ranah public dan politik. Ini merupakan argument justifikasi yang salah menurut penulis.
Karena tidak semua hal tersebut melekat dalam diri perempuan. Perempuan yang
memiliki pendidikan yang tinggi serta aktif dan mempunyai pengalaman yang luas
dalam hubungan social akan memiliki kapasitas yang sama dengan laki-laki.
Factor
penghambat akan keterlibatan perempuan dalam politik dan public terjadi karena
kurangnya kesempatan dan peluang bagi kaum perempuan dalam memperoleh
pendidikan yang cukup. Sehingga ketika pendidikan itu tidak didapatkan
sepenuhnya maka bukan hanya ranah public yang tidak dapat dimasuki akan tetapi
yang lebih ironisnya juga akan terjadinya marginalisasi, kemiskinan,
dikriminasi, kesehatan yang buruk, serta tumbuh kembang anak-anak juga akan
terpengaruhi.
Hal ini ditekankan karena pada realitasnya, masih dirasakan adanya
kesenjangan antara peranan yang dilakukan oleh kaum pria dan perempuan pada
berbagai peran, utamanya pada peran-peran publik. Oleh karena itu, peningkatan
peran perempuan dalam pembangunan yang berwawasan gender sebagai bagian
integral dari pembangunan nasional, mempunyai arti yang penting dalam upaya
untuk mewujudkan kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dan perempuan agar
dapat terwujud kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai kegiatan khususnya
bidang politik.
Perempuan mempunyai makna yang sangat penting untuk memberikan
pemahaman dan menyatukan persepsi tentang pentingnya pembangunan demokrasi yang
sehat, adil dan realistis. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan politik
perempuan, perlu ditingkatkan baik dari segi organisasional maupun pemantapan
pilar-pilar demokrasi melalui lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif
yang aspiratif dan pro terhadap kepentingan perempuan. Kondisi semacam ini
perlu mendapat perhatian khusus, untuk itulah salah satu hal yang perlu
ditangani adalah masalah pendidikan politik bagi kaum perempuan, sehingga
dengan tumbuh berkembangnya kesadaran politik dikalangan perempuan, mereka
diharapkan mampu memanfaatkan kesempatan dan peluang yang ada sesuai potensi
yang dimiliki dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kebijakan khusus afirmasi (Affirmative Action) harus segera diubah
dengan srategi Pengurus Utamaan Gender (PUG) di semua bidang kehidupan,
khususnya di semua lini dan strata untuk mempercepat persamaan akses,
partisipasi, kontrol, serta manfaat yang sama antara perempuan dan laki-laki.
B. PERKEMBANGAN GENDER DALAM POLITIK DIINDIA
Terdapat empat argumen penting dalam
mempertanyakan partisipasi wanita baik dalam level global ataupun India.
Argumen pertama mencoba untuk memandang patisipasi wanita sebagai bagian dari
pemberian kekuasaan terhadap wanita sebagai kategori politik[1]. Argumen
kedua mencoba untuk mendebat bahwa hak voting atau hak pilih tetap sebagai
simbol[2] atau
tanda politik dari pada aktualisasi partisipasi dalam masyarakat tradisional
seperti India, Iran dan lainnya. Dan argumen ketiga memandang hak pilih
sebaagai komponen esensial untuk menciptakan masyarakat sederajat dan argumen
terakhir mendebat bahwa partisipasi politik terutama lewat kuota atau
reservaasi tidak seharusnya mengarah pada emansipasi wanita, karena wanita
masih tetap tidak memiliki hak dan prasangka gender masih beroprasi dalam
wilayah yang luas[3].
Dalam sistem politik manapun, mulai
dari negara berkembang sampai negara maju, kehadiran wanita sangat rendah
dibandingkan pria. Di banyak negara wanita sudah melalui pertarungan panjang
untuk dapat memiliki hak voting. Saat ini, persentasi wanita sebagai voter
telah meningkat, namun partisipasi politik masih tidak setara dengan pria dan
untuk itu wanita tidak mampu untuk mendapat pembagian yang setara dalam
organisasi yang membutuhkan pembuatan keputusan. Wanita telah dikategorikan
sebagai bagian tidak signifikan dalam arena politik. Politik dalam berbagai
kategori masih didominasi oleh priaa.
Penghilangan wanita dari posisi
kuasa berefek pada kempuan dalam menantang perbudakan wanita dalam berbagai
perwujudan. Wanita harus berada dalam politik dan kekuasaan untuk
berpartisipasi sebagai wanita dan untuk mengubah sifat dasar kekuasaan yang
mengecualikan mereka. Waniita yang terdiri dari hampir setengah populasi harus
diwakilkan dalam badan pembuat keputusan. Jika tidak, tujuan dalam pengembangan
ridak bisa dicapai.
Kenyataannya, partisipasi wanita telah
memberikan pandangan atau perspektif yang berbeda. Salah saty perspektif yang
ada dikenal sebagai Perspektif Incrementalisme[4].
Perspektif yang menyatakan bahwa kesetaraan gender adalah fenomena yang
bertahap. Berdasarkan pandangan ini kesetaraan gender berkembang bertahap,
secara bertahap dan sebagai usaha bersama dimana intervensi neagra mungkin
dapat membantu dalam mencapai kesetaraan gender. Faktanya, Di India, Perspektiv
Incrimentalisme mendominasi pandangan politik.
Menariknya, partisipasi wanita memiliki sejarah yang panjang di India,
sejak masa pre-kolonial.
a.
Status Wanita Dalam
Sejarah Awal India
Setiap
masyarakat manusia dikarakteristikan tidak terkecuali oleh pembedaan sosial.
Diantara pembedaan tersebut, pembedaan berdasarkan gender adalah salah satunya.
Hal ini terlihat lebih spesifik pada masa awal peradaban. Perlakuan antara
wanita dan pria dibedakan. Mereka ditempatkan dalam peran dan status yang
berbeda. Pria ditempatkan dalam mencari penghidupan dan melindungi wanita serta
anak-anak sementara wanita berperan dalam produksi keturunan dan pekerjaan
rumah tangga. Rekam sejarah menunjukan bahwa posisi wanita di India berbeda
setiaap zamannya. Pemahaman sejarah status wanita di masa awal India menunjukan
tren kemunduran dalam posisi wanita.
A.S.Altekar
membagi masyarakat dalam beberapa kelompok. Dalam Rig Veda ( 2500 sebelum
masehi sampai 1500 sebelum masehi), posisi wanita cukup memuaskan. Wanita
memiliki edukasi yang sama dengan pria dan berlangsung sampai periode
Brahmakarya. Wanita bahkan memilii kebebasan dalam aktivitas politik yang
berbeda dalam sosial dan kehidupan politik
Pada masa antara 1500 sebelum
masehi sampai 500 sebelum masehi, terdapat kemunduran dalam level edukasi
wanita. Sistem yang menyatakan untuk mengirimkan wanita kepada pengajar
terkenal semakin berkurang. Hanya saudara pria, seperti ayah dan saudara lelaki
yang dapat mengajari wanita. Terdapat kecenderungan dalam membatasi hak
beragama dan hak wanita. Namun wanita memiliki posisi terhormat dalam rumah
tangga dan dapat beraktivitas dengan bebas dalam keluarga ataupun masyarakat[5].
Pada masa 500 sebelum masehi
sampai 500 sesudah masehi, posisi wanita semakin memburuk. Pernikahan antara
wanita non-Arya terhadap pihak Arya dianggapsebagai kunci kemunduran posisi
wanita. Wanita non-Arya tidak perduli akan bahasa sansekerta dan hal ini
merupakan rintangan dalam menjadi bagian dari hak agama yang harus dibiasakan
oleh Istri seorang Arya. Umur bagi baik wanita ataupun wanita untuk dapat
dinikahkan semakin menurun. Namun, hak untuk memiliki bagi wanita saat itu
sudah mulai diakui, hal ini disebabkan karena wanita janda tidak dibolehkan
untuk menikah lagi sehingga harus dapat bertahan hidup sendiri[6].
Selama tahun 500 sampai 1800
setelah masehi, selain hak untuk memiliki kekayaan sendiri yang sudah dimiliki
wanita, posisi wanita semakin menurun. Wanita dikategorikan sama dengan
golongan sudra. Umur wanita untuk dapat dinikahkan semakin menurun. Hak untuk
menikah lagi bagi para janda sudah hilang . Wanita dengan keras hanya boleh
berada didalam rumah. Kebebasan mereka sangat dibatasi dan menjadi sangat
tergantung kepada pria, artinya seluruh hidupnya hanya akan tergantung kepada
ayahnya, suaminya dan anak lelakinya.
Para
ilmuawan feminis berpendapat bahwa sejarah ini merupakan produk dari interaksi
pada abad 19 antara kolonialisme dan nationalisme. Bahkan dari sumber Brahma,
terdapat bukti yang cukup untuk menunjukkan bahwa struktur dari institusi yang
memastikan perbudakan wanita telah ada sejak sebelum Muslim sebagai komunitas
religi muncul. Wanita hanya dikenal sebagai istri dan ibu dalam masyarakat yang
mengutamakan posisi pria.
b)
Partisipasi Politik Wanita
India
Secara demografis,
berdasarkan sensus tahun 2001, total
populasi India adalah 102.70 juta jiwa. 49,5% dari jumlah populasi ini
adalah wanita yang mana hampir setengahnya. Berdasarkan sensus tahun 1901,
perbandingan jumlah wanita adalah (Per 1000 pria) 979 dan berdasarkan sensus
tahun 2001, telah turun menjadi 933. Penurunan ini adalah dikarenakan sikap
apatis terhadap anak perempuan. Faktanya, pada tahun 1991 penurunan terjadinya
sampai sejumlah 927 yang artinya pada tahun 2001 terjadi peningkatan.
Table No.2.4: Decennial sex ratio in India
(females per 1000 males)
Tahun
|
Jumlah Wanita per 1000 Pria
|
1901
|
972
|
1911
|
964
|
1921
|
955
|
1931
|
950
|
1941
|
945
|
1951
|
946
|
1961
|
941
|
1971
|
930
|
1981
|
934
|
1991
|
927
|
2001
|
933
|
Source: Census of India
Berdasarkan sensus tahun
2001, dari setiap 1000 wanita, 542 wanita mampu baca tulis(54,2%). Hal ini
menunjukkan 45,8% wanita sisanya masih tidak bisa baca tulis. Jika dibandingkan
dengan rata-rata julah pria yang mampu baca tulis, rata-rata wanita selalu
lebih rendah.
Total partisipasi wanita dalam politik pada tahun 2001 adalah
25,68% dan itu sudah termasuk 13,45% wanita pedesaan dan 11,55% wanita
perkotaan. 71,8 % wanita dipekerjakan dalam sektor utama, 21,7 % pada sektor
kedua dan sisanya pada sektor produksi. Statistik ini menunjukan bahwa
rata-rata yang mampu baca tulis dan rata-rata partisipasi kerja wanita
meningkat setiap harinnya namun dengan sangat perlahan. Pembunuhan balita
perempuan dimasyarakat India semakin meningkat karena anggapan wanita hanya
akan menjadi beban keluarga. Status sekunder yang diberikan pada wanita oleh
masyarakat India telah menempatkan kerugian bagi posisi wanita dalam berbagai
bidang.
c)
Partisipasi wanita setelah
Kemerdekaan
Dasar partisipasi wanita dalam bidang politik diletakkan saat
gerakan kemerdekaan dijalankan. Perpindahan kekuasaan dari Inggris ke India
memberikan wanita kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses demokratisasi. Perhitungan
dalam jumlah besar dari legal, sosial dan juga ekonomi telah diambil oleh
pemerintah untuk meningkatkan status wanita India. Wanita juga sudah sadar
secaara politis, karena mereka sudah mulai berpartisipasi dalam politik negara
dan nasional.
Konstitusi India, salah satu dokumen terkenal yang pernah
diproduksi mulai berlaku sejak tahun 1950 menjamin keadilan, kebebasan dan
kesetaaraan kepada semua masyarakatnya. Pembukaan konstitusi India menyatakan
untuk mengamankan keadilan, sosial, ekonomi dan politk, kebebasan berpikir,
ekspresi, kepercayaan pemujaan, dan kesetaraan status masyarakatnya. Untuk
mencapai ini, Konstitusi menjamin hak-hak dasar. Pasal dan amandemen yang spesifik telah diletakkan
untuk memastikan bahwa wanita dan anak-anak menikmati hak Konstitusi tersebut.
Para wanita pada masa setelah kemerdekaan memainkan peran penting
dalam aktivitas konvensional seperti gerakan enviromental, anti alkohol,
gerakan perdamaian dan bahkan aktivitas revolusi yang mana memiliki pengaruh
karena mereka memiliki kapasitas untuk memengaruhi negara. Namun, politik tetap
menjadi wilayah yang tidak ramah kepada wanita dan tetap menjadi wilayah
dominan bagi pria yang mana merupakan tempat yang dilarang untuk dimasuki
wanita. Perwakilan wanita diparlemen masih berada dalam tahap yang masih
rendah. Perwakilan wanita masih berkisar 10,8% diparlemen. Tidak diragukan lagi
bahwa kursi parlemen memang diberikan pada wanita namun tidak menjamin
kekuasaan wanita dalam hitungan jumlah.
C.
PERKEMBANGAN GENDER DALAM POLITIK
DI BANGLADESH
Ketidaksetaraan gender (Gender inequality)
adalah salah satu isu yang paling penting di seluruh dunia saat ini. Sementara
pertarungan untuk ketidaksetaraan gender terus berlanjut di setiap bidang,
perempuan masih menjadi pihak yang didiskriminasi di masyarakat yang didominasi
laki-laki.
Stigma yang berkembang di Bangladesh adalah wanita
harus patuh terhadap laki-laki, dimana Bangladesh sendiri adalah Negara yang
masyarakat nya sangat patriarkal dan diskriminasi gender terbukti di semua
tingkat. Perempuan sangat jarang memiliki peran di setiap sektor di Bangladesh;
Secara tradisional peran wanita adalah putri, istri dan ibu. Kegiatan mereka di
lingkungan sosio-budaya Bangladesh terutama bersifat domestik terbatas pada
empat dinding rumah. Mereka juga kekurangan akses terhadap keadilan atas hak
asasi manusia, karena distribusi ras, etnisitas, budaya, agama, sosial dan
ekonomi.
Kesetaraan gender atau kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan bergantung pada konsep bahwa semua manusia, baik pria
maupun wanita, bebas mengembangkan kemampuan pribadi mereka dan membuat pilihan
tanpa batasan yang ditetapkan oleh stereotip, stigma peran gender dan prasangka
yang kaku. Kesetaraan gender berarti bahwa perbedaan perilaku, aspirasi dan
kebutuhan perempuan dan laki-laki dipertimbangkan, dihargai dan disukai secara
setara. Ini tidak berarti bahwa perempuan dan laki-laki menjadi sama, namun
hak, tanggung jawab dan kesempatan mereka tidak akan tergantung pada apakah
mereka dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan.[7]
Sebuah studi dari ICDDRB (Pusat Penelitian
Penyakit Diare Internasional), menemukan bahwa ketidaksetaraan gender ada di
setiap wilayah, terutama di daerah pedesaan Bangladesh. Seperti tipikal negara
berkembang lainnya, Bangladesh tidak terbebas dari masalah gender karena
memiliki tingkat buta huruf yang tinggi dan over populated, daerah pedesaan di
Bangladesh jauh lebih terbelakang secara ekonomi daripada daerah kota. Sebagian
besar keluarga Bangladesh masih belum keluar dari norma dan kebiasaan sosial
tradisional. Pada dasarnya, asal usul bias gender adalah norma dan tradisi sosial,
yang masih ada di sebagian besar keluarga di negara ini, baik di wilayah kota
maupun di daerah pedesaan. Berbagai elemen sistem sosial berinteraksi sehingga
membuat perempuan bergantung pada laki-laki dan berisiko menjadi miskin ketika
ditinggalkan, sehingga hal ini menghasilkan pembagian kerja yang kaku dan pasar
kerja yang sangat terpisah menurut jenis kelamin.[8]
Di Bangladesh, rumah tangga adalah unit
produksi dan konsumsi utama. Pria umumnya memiliki dan mengelola lahan dan
pendapatan keluarga, sedangkan perempuan berkontribusi besar terhadap perekonomian
dan keluarga. Mereka tidak hanya berpartisipasi dalam pertanian dan tenaga
kerja industri, tetapi juga mereka sepenuhnya bertugas memasak, bersih-bersh,
mengumpulkan kayu bakar dan air serta mencuci. Selain itu, mereka memikul
tanggung jawab penuh untuk membesarkan anak dan merawat orang tua dan lemah.[9]
a)
Isu-isu Gender di Bangladesh
Sebuah studi yang baru-baru ini dilaksanakan
oleh Bank Dunia, mengenai isu dimensi gender (2002), dimana beberapa negara
berpenghasilan rendah dan menengah dipilih sebagai variable penelitian dan
mereka menemukan fakta bahwa, Bangladesh terletak pada kisaran per kapita yang
rendah dan perkembangan kemajuan gendernya juga sangat rendah. Menurut
penelitian ini menunjukkan bahwa ada jaring pengaman atau operasi yang relevan
di semua negara yang dievaluasi, namun pada umumnya mereka tidak berusaha
mengurangi dampak buruk pada perempuan secara khusus.[10]
Studi tersebut juga menunjukkan bahwa, tingkat
keparahan kesenjangan gender di Bangladesh relative tinggi sementara rumusan
kebijakan untuk mengintegrasikan isu gender dalam tindakan perlindungan sosial
adalah moderat. Tapi hal yang paling disayangkan, adalah tidak ada pemantauan
sama sekali mengenai implementasi kebijakan untuk mengurangi kesenjangan
gender. Beberapa indikator terpenting yang menunjukkan status wanita di
Bangladesh adalah seperti berikut[11]
·
Perempuan sebagian besar adalah orang miskin
·
Mereka memiliki akses yang kurang terhadap
pekerjaan formal dan berpenghasilan lebih rendah
·
Mereka terus menghadapi kekerasan dan pelecehan
·
Ketidaksetaraan tercermin dengan baik dalam
indikator kesehatan
·
Angka kematian ibu di Bangladesh adalah salah
satu yang tertinggi di dunia
·
Angka kematian dan tingkat gizi buruk untuk
anak perempuan lebih tinggi daripada anak laki-laki
Sebenarnya, Bangladesh telah memiliki kebijakan
untuk memajukan hak-hak perempuan sejak tahun 1976. Kementerian Urusan
Perempuan dan Anak berfungsi sebagai focal point dalam mesin nasional untuk memajukan
isu-isu perempuan. Perannya adalah untuk memfasilitasi perspektif kesetaraan
gender di semua bidang kebijakan serta mendukung, mengkoordinasikan,
mengkomunikasikan dan memantau pelaksanaan Rencana Aksi Nasional (RAN). Tujuan
utama RAN adalah: menghapus hambatan hukum, ekonomi, politik atau budaya, untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kebutuhan diferensial perempuan,
untuk memperbaiki pembangunan perempuan dan memberikan kesempatan kesetaraan
penuh. Meski begitu, kesenjangan gender masih menjadi salah satu penyebab utama
hambatan perkembangan ekonomi Bangladesh. Upaya pemerintah nampaknya tidak
memadai dan tidak tepat untuk menyelesaikan masalah ini.[12]
Perubahan pola populasi kepemilikan tanah di
daerah pedesaan berdampak pada hubungan gender dan posisi perempuan di seluruh
Bangladesh. Pertama, fragmentasi atau system pembagian kepemilikan dimana dalam
pembagian hak nya, perempuan mendapatkan jatah yang lebih sedikit dibandingkan
laki-laki. Sehingga peran dan posisi perempuan dalam rumah tangga semakin berkurang.
Serentak, hak normatif perempuan terhadap dukungan sosial di luar keluarga
melemah. Dengan demikian perempuan menjadi lebih rentan terhadap kemelaratan
dan kemiskinan yang ekstrem. Selain itu, kemungkinan perempuan untuk kerja di pabrik
dan sawah juga menurun, dimana tugas mereka untuk menggiling padi menjadi beras
telah diambil alih oleh tenaga mesin berteknologi tinggi. Sedangkan di dalam
rumah tangga, pekerjaan perempuan memiliki tingkat produktivitas yang semakin
rendah.[13].
Kemunculan trend baru, sistem pernikahan tidak
berbasis Islam yang tidak beraturan adalah manifestasi dari perubahan-perubahan
ini. Hal ini menandakan bahwa wanita semakin dipandang sebagai beban ekonomi
oleh keluarga pemberi istri dan keluarga penerima istri. Keluarga kaya dapat
memperoleh keuntungan dari meminjamkan uang ke rumah tangga yang lebih miskin
dan mengklaim aset mereka secara default. Jumlah penduduk miskin pedesaan
berkembang sehingga mereka bermigrasi ke daerah kumuh perkotaan. Kemiskinan
perkotaan, khususnya rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan, seharusnya
mendapat perhatian lebih dari para analitis dan pembuat kebijakan, walaupun hal
ini, tentunya bertentangan dengan dorongan utama kebijakan pemerintah untuk
mengurangi migrasi pedesaan-perkotaan.
Bangladesh
adalah salah satu penandatangan di antara 189 negara untuk Deklarasi Milenium
2000. Sebagai bagian dari itu, Bangladesh bekerja untuk mencapai Tujuan
Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals / MDGs) yang berkomitmen
pada serangkaian target pembangunan yang disepakati secara internasional.
Laporan kemajuan MDG yang pertama berfokus terutama pada penilaian orang awam
tentang MDG di Bangladesh dan di luarnya dan membahas serangkaian dasar sosial
ekonomi, pelayanan publik dan indikator yang relevan. Analisis telah dilakukan
dalam hal status sekarang, dimana terjadi perkembangan atau regresi dari waktu
ke waktu dan tingkat perubahan dengan fokus pada gender dan variasi regional.[14]
Kekerasan gender adalah fakta kehidupan
sehari-hari dan seringkali mematikan bagi jutaan perempuan dan anak perempuan
di seluruh dunia. Di sebagian besar wilayah Bangladesh, terutama keluarga yang patriarkal,
patrilokal dan patrilineal sangat umum dikenal jenis hubungan yang disebut
gender egaliter dimana hubungan ini sangat terkait dengan kekerasan gender.
Wanita didefinisikan sebagai inferior; Suami diasumsikan 'memiliki' wanita dan
memiliki hak untuk mendominasi mereka, jika perlu dengan menggunakan kekerasan.
Kekerasan dalam rumah tangga sangat tertanam
dalam norma patriarkal dan hubungan gender di Bangladesh. Keunikan kekerasan
spesifik gender di tempat-tempat umum seperti kekerasan dalam rumah tangga,
terutama pemukulan istri, barangkali merupakan bentuk kekerasan paling sering
terjadi terhadap perempuan. Di negara-negara yang melakukan studi skala besar
mengenai kekerasan gender, lebih dari 20% perempuan dilaporkan telah mengalami
kekerasan dalam segala bentuk dari laki-laki yang tinggal bersama mereka. Situasi
di Bangladesh sebenarnya lebih buruk, dimana setengah dari wanita disana
dilaporkan telah mengalami kekerasan oleh suami mereka. Kekerasan berbasis
gender termasuk pemukulan istri, pemerkosaan, pelecehan seksual dan penyiksaan
dan pembunuhan sangat tersebar luas. [15]
b)
Status Wanita secara Konstitusional
Perempuan memiliki beberapa hak dasar yang
diakui oleh konstitusi Bangladesh. Menurut Pasal 15 (d), di bawah judul Prinsip
Dasar Kebijakan Negara, hak dan kesempatan bagi perempuan adalah sebagai
berikut:[16]
Pasal 27: kesetaraan semua warga negara di
depan hukum dan perlindungan yang sama di bawah hokum.
Pasal 28 (1): tidak ada diskriminasi atas dasar
agama, ras, kasta, jenis kelamin atau tempat lahirnya. Pasal 28 (2): kesempatan
yang sama untuk pria dan wanita di semua bidang kehidupan negara dan
masyarakat. Pasal 28 (3): tidak ada diskriminasi atas dasar agama, ras, kasta,
jenis kelamin atau tempat lahir dalam memberikan akses ke tempat hiburan atau
resor umum manapun, atau masuk ke institusi pendidikan manapun.
Pasal 29 (1): kesempatan yang sama bagi semua warga
negara dalam hal pekerjaan atau jabatan dalam pelayanan republik. Pasal 65 (3):
perempuan bebas untuk mengikuti pemilihan dari setiap konstituensi. Yang mana
awalnya hanya 15 kursi dicadangkan untuk wanita, saat ini menjadi 45 kursi.``
c)
Wanita dalam pembuatan Kebijakan, Politik dan Administrasi
Status perempuan dalam masyarakat yang sedang
berkembang adalah akibat dari kedudukan nya di dalam keluarga, di berbagai
institusi sosial dan administratif dan pada tingkat pengambilan keputusan
politik. Dalam kasus wanita Bangladesh, semua hal ini telah berkontribusi sebagai
faktor pendukung untuk melepaskannya dari arus utama hierarki politik dan
administrasi. Partisipasi perempuan dalam gerakan politik dan nasional sangat
diabaikan. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir dua wanita telah muncul
sebagai pemimpin politik penting di negara ini, akan tetapi kekuasaan itu di
dapat melalui hubungan pribadi mereka dengan pemimpin politik laki-laki yang
telah meninggal dari masing-masing pihak. Wanita biasanya tidak berpartisipasi
dalam proses politik.
Partisipasi politik perempuan di Bangladesh
relative rendah disebabkan oleh buta huruf dan sedikit keterlibatan perempuan
dalam kehidupan publik dan politik. Sebagai contoh, anggota perempuan dari
Union Parishad (bagian terendah dari unit lokal), tingkat terendah dari
Pemerintah Daerah, walaupun terpilih dalam pemilihan langsung, secara harfiah
mereka memiliki kekuatan yang lebih sedikit. Banyak perempuan yang hidup di
desa-desa dan wanita yang tinggal di trotoar kehilangan hak suara mereka.
Patriarki masih mengendalikan semua institusi masyarakat, diantara nya, parlemen,
perusahaan, militer, yudikatif, pendidikan dan organisasi non politik. [17]
Di
legislatif sendiri, agar memiliki representasi wanita yang adil, dari 345
kursi, 45 kursi dicadangkan khusus bagi wanita. Namun ini tidak menghalangi
wanita untuk mengikuti salah satu dari 300 kursi umum - yang tentu saja lebih
merupakan masalah teori daripada praktik. Pemilu tidak langsung untuk perempuan (melalui
seleksi) oleh badan utama yang terdiri dari anggota parlemen laki-laki yang
sangat banyak membuat anggota perempuan terpilih benar-benar tunduk pada laki-laki
dan tidak efektif untuk tujuan tersebut. Tabel 4 menunjukkan situasi wanita
dalam politik sejak awal Bangladesh
Di sisi lain, partisipasi perempuan dalam
pengambilan keputusan politik dan administrasi tetap sangat ramping. Saat ini
sangat sedikit perempuan Bangladesh yang dapat ditemukan dalam posisi
kepemimpinan politik baik di struktur pemerintah pusat maupun daerah, dan
bahkan dalam hirarki administratif. Akibat kurangnya kesempatan untuk campur
tangan pada tingkat kebijakan dan pengambilan keputusan, perempuan memiliki
dampak minimal dalam perencanaan, pengelolaan dan pelaksanaan kebijakan. Kita
hanya perlu melihat beberapa wanita yang memegang posisi senior di eselon atas
birokrasi yang menjadi contoh betapa kurangnya representasi serius mereka.
Seperti halnya perempuan di politik dan administrasi public, juga tidak ada di
tingkat manajemen puncak di sektor swasta.
d)
Analisa Panduan Kebijakan bagi Pemerintah
Bangladesh
Berdasarkan
Inequality gender yang banyak terjadi di Bangladesh, terdapat beberapa
rekomendasi dan panduan kebijakan bagi pemerintah yang mengalami hal hal serupa
khususnya pemerintah Negara – Negara berkembang seperti Bangladesh sebagai berikut
:
·
Negara Bangladesh sudah melaksanakan kebijakan
pendidikan dasar wajib dan gratis. Dengan demikian, tingkat partisipasi utama
semakin tinggi. Tapi masalahnya masih terletak pada perempuan yang drop out di
tengah jalankarena berbagai alasan. Pemerintah harus mengambil langkah-langkah
yang tepat untuk mengurangi drop-out dari tingkat pendidikan berikutnya untuk
memastikan akses penuh terhadap pendidikan bagi anak perempuan terutama di
daerah pedesaan. Langkah tersebut akan berdampak langsung pada peningkatan
status sosial ekonomi wanita.
·
Komitmen politik pemerintah terungkap melalui
aksi publik atas nama perempuan dan menemukan keputusan alokatif dalam
menciptakan kondisi yang memungkinkan melalui penyediaan undang-undang, melalui
intervensi kebijakan, melalui pembangunan institusi, melalui perintah eksekutif
dan yang paling penting, melalui pelembagaan pengawasan aksi public. Jadi tidak
cukup meloloskan undang-undang untuk perlindungan perempuan seperti pelarangan
sistem mas kawin dan peraturan untuk meminta izin istrinya sebelum seorang pria
menikah untuk kedua kalinya. Pengawasan kebijakan di semua tingkat dan
konkretisasi peradilan diperlukan untuk memastikan bahwa hak perempuan
dilindungi dalam praktik nya.
·
Inisiatif pemerintah dan swasta harus
ditingkatkan untuk mempromosikan pemberdayaan perempuan dengan penekanan pada
pengembangan sumber daya manusia, tenaga terampil dan mobilitas sosial; hal ini
akan ditambah dengan penyediaan keuangan mikro yang akan memungkinkan perempuan
tidak hanya perempuan miskin untuk tidak hanya melakukan kegiatan menghasilkan
pendapatan tetapi juga membentuk komponen lain dari peningkatan pemberdayaan.
·
Upaya harus dilakukan untuk meningkatkan
kesadaran massa tentang kerugian wanita buta huruf dan tidak produktif dalam
keluarga. Media elektronik dan cetak harus meningkatkan program mereka dalam
publikasi mengenai isu tersebut, sehingga keluarga pedesaan dapat memahami
pentingnya partisipasi penuh perempuan di semua bidang kehidupan.
BAB III
KESIMPULAN
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan
penjelasan diatas, ternyata dapat dibuktikan bahwasannya antara wanita dan pria
untuk saat ini masih terdapat perbedaan, terutama di India dan Bangladesh.
Umumnya perbedaan ini disebabkan oleh agama atau budaya yang berlaku diwilayah
tersebut. Selain dikarenakan hal
tersebut juga disebabkan karena wanita dipandang sebagai memiliki sifat
yang lemah.
Berdasarkan
sejarah, baik India ataupun Bangladesh telah menganggap wanita sebagai gender
yang inferior dibandingkan pria.Berdasarkan penelitian yang sudah dibahas,
wanita hanya dianggap sebagai alat, pekerja atau pelayan dimata masyarakat.
Namun hal ini tidak serta merta menyatakan bahwa setiap orang menganggap wanita
demikian adanya. Namun dimata masyarakat demikianlah.
Pada
saat ini India dan Bangladesh memang memiliki konstitusi yang lebih ramah
terhadap wanita, namun tidak serta merta mengubah posisi wanita setara dengan
pria. Masih banyak terjadi perbedaan status gender baik itu di India atau di
Bangladesh. Wanita masih diperlakukan berbeda, walau dalam kategori yang lebih
ramah. Maksudnya disini wanita diperlakukan dengan lembut namun tidak diizinkan
untuk melangkah kedaerah dominansi pria dengan bebas.
Dengan
adanya kondisi demikian, wanita juga tidak serta merta tinggal diam. Kini, baik
itu di India atau Bangladesh, sudah terdapat banyak gerakan kesetaran dan
aktivis-aktivis gender dalam bidang feminisme. Dan hal ini semakin membuka
kesempatan bagi wanita untuk semakin setara dalam hal kesempatan pendidikan dan
pekerjaan dengan wanita.
DAFTAR PUSTAKA
A, Rahman,
Asaduzzaman M, Rahaman A. “Millennium Development Goals: A people’s
Progress Report Bangladesh”, Peoples Forum on MDG (PGM) di Dhaka, September
2005.
Asitic Socety of Bangladesh. “Bangladesh : The
National Encyclopedia of Bangladesh; Vol. 10 Dhaka”, 2004.
Faria, Ahmed. “Gender Division of Labour;
Bangladesh context”, Unnayan Podokkhep, Vol. 6 No. 6 No. 1 January- March 2001.
Haider, Sheikh Kabir Uddin. “Dimension and
intensity of gender inequality in Bangladesh: an overview”, Journal of Research
in Peace, Gender and Development, Vol 2 (10), Oktober 2012.
International Labor Organization (ILO),‘ABC of
Women Workers and Gender Equality’, dapat diakses dari :
www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---dgreports/---gender/.../wcms_087314.pdf ILO Report on Gender Inequality, Geneva, 2000
MA,
Mamun. “Gender, Land and Livelihood in South Asia”, Centre for Policy
Dialogue, Report No.37 Dhaka, September 2000.
MA, Mamun. “Violence Against Women’s: Marital
Violence in Rural Bangladesh” CPD-UN FPA Paper-20, Centre for Policy Dialogue,
Dhaka 2003.
S, Gita. “Form The Margin to the Mainstream
Micro-Finance Programmes and Women’s Empowerment: The Bangladesh Experience”,
Centre for Development Studies, University of Wales Swansea, UK, 2001.
The World Bank, ‘Bangladesh: Strategies for
Enhancing the Role of Women in Economic Development’, A world Bank Country
Study, Washington DC, January 1992.
The World Bank, “The Gender Dimension of Bank
Assistance: An Evaluation of Results”, Operations Evaluation Department Report
No. 23119, January, 2002.
Subhas C,Parida and Nayak Sasmita.2009.Empowerment of women in India.Delhi : Nprthern book centre.
Rachna,Suchinmayee.2008.Gender, Human Rights and Environment.New
Delhi : Atlantic Publications.
Jytte,Klausen & Maier Charles S.2001.Has liberalism failed Women -Representation
in Europe and the US.New York : Palgrave Publishers.
Drude,Delharup.2006.Women, Quotas and Politics.London :
Routledge publishers.
A.S,Altekar.2000.The Position of Women in Hindu Civilization.
Retrospect and Prospect.New Delhi : Manohar Publication
[1]Parida Subhas C and Nayak Sasmita, 2009, Empowerment of women in India,Delhi : Nprthern book centre.
[2] Suchinmayee Rachna, 2008,Gender,
Human Rights and Environment,New Delhi : Atlantic Publications.
[3] Klausen
Jytte, Maier Charles S,2001,Has
liberalism failed Women -Representation in Europe and the US,New York :
Palgrave Publishers.
[5] Altekar
A.S.,2000,The Position of Women in Hindu
Civilization. Retrospect and Prospect,New Delhi : Manohar Publication, Hal
: 53-55.
[6] Ibid, Hal 56-67
[7] International Labor Organization (ILO),‘ABC of
Women Workers and Gender Equality’, dapat diakses dari : www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---dgreports/---gender/.../wcms_087314.pdf ILO
Report on Gender Inequality, Geneva, 2000
[8] The World Bank, ‘Bangladesh: Strategies for
Enhancing the Role of Women in Economic Development’, A world Bank Country
Study, Washington DC, January 1992
[9] Gita S, ‘Form The Margin to the Mainstream
Micro-Finance Programmes and Women’s Empowerment: The Bangladesh Experience’,
Centre for Development Studies, University of Wales Swansea, UK, 2001.
[10] World Bank, “The Gender Dimension of Bank
Assistance: An Evaluation of Results”, Operations Evaluation Department Report
No. 23119, January, 2002.
[11] Ibid
[12] Sheikh Kabir Uddin Haider, “Dimension and
intensity of gender inequality in Bangladesh: an overview”, Journal of Research
in Peace, Gender and Development, Vol 2 (10), Oktober 2012
[13] Mamun AA, ‘Gender, Land and Livelihood in South Asia’, Centre for
Policy Dialogue, Report No.37 Dhaka, September 2000.
[14] Rahman A, Asaduzzaman M, Rahaman A , ‘Millennium Development Goals: A
people’s Progress Report Bangladesh, Peoples Forum on MDG (PGM) di Dhaka,
September 2005.
[15] Mamun MA, ‘Violence Against Women’s: Marital Violence in Rural
Bangladesh’ CPD-UN FPA Paper-20, Centre for Policy Dialogue, Dhaka 2003.
[16] Asitic Socety of Bangladesh, “Bangladesh : The National Encyclopedia
of Bangladesh; Vol. 10 Dhaka”, 2004, hal 407-413
[17] Ahmed Faria, “Gender Division of Labour; Bangladesh context”, Unnayan
Podokkhep, Vol. 6 No. 6 No. 1 January- March 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar