Rabu, 21 Maret 2018

MAKALAH POLITIK PEMERINTAHAN ASIA SELATAN POLITIK & GENDER DIBANGLADES & INDIA




MAKALAH POLITIK PEMERINTAHAN ASIA SELATAN
POLITIK & GENDER DIBANGLADES & INDIA


OLEH :
ANNISA ROSALINA (1601114560)
DESBIN RAJA IRSANTO SIALLAGAN (1501113385)
DINA OCTAVIA (1501121557)
MINDY SUCI PRATIWI (1501116519)
LIDIA MELITA (1601110197)


JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS RIAU


2017/2018


KATA PENGANTAR

Salam Sejahtera
            Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas limpahan berkat dan kasih-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Gender & Politik Di Banglades & India”. Penulisan makalah ini bertujuan untuk dapat menjadi bahan tambahan dalam bacaan mengenai isu – isu kontemporer dan sekaligus sebagai salah satu tugas untuk memenuhi salah satu tugas Politik Pemerintahan Asia Selatan
Penulis berharap dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, terutama kepada penulis sendiri dan dapat menambah wawasan kita mengenai pemikiran-pemikiran politik dari Timur. Makalah ini tidaklah sempurna, oleh karena itu kami penerimaan dari pembaca atas karya ini dan apabila berkesempatan untuk memberikan saran serta kritikan selanjutnya untuk dapat terus memperbaiki karya – karya selanjutnya. Terima kasih.

            Pekanbaru, 18 Oktober 2017.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Penulis




BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Diera globalisas-demokrasi saatini, dimana laju informasi dan juga kebabasan berpendapat berkembang dengan pesat dan cepat, perkembangan pemikiran didunia ini semakin cepat. Peradaban manusia yang bermoral dan juga menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan juga semakin berkembang. Pemikiran manusia antara yang satu dan yang lainnya saling berkaitan dan mendukunhg antar satu dan lainnya. Semua ini diakibatkan perkembangan komunikasi yang mendukung pertukaran informasi serta lingkungan yang bebas dalam berpikir dan memberi ruang bagi manusia untuk memikirkan kebutuhan yang baru.
Manusia yang diberikan ruang mulai memikirkan hal-hal baru, salah satunya adalah kesetaraan status bagi seluruh masyarakat. Didorong oleh rasa adil dan ingin mensejahterakan seluruh umat manusia, timbul pemikiran equalitas antar masyarakat, antar priaa dan wanita, antar golongan dan lainnya. Dan dalam subjek kali ini yang akan dibahas adalah kesetaraan gender, antara wanita dan pria.
Perhatian masyarakat dunia mengenai keterwakilan perempuan dalam parlemen semakin meningkat dan menjadi diskusi yang cukup menarik. Hal tersebut disebabkan oleh semakin berkembangnya peranan perempuan yang lebih kompleks dalam kehidupan sosial. Perempuan memiliki peran penting dalam pembangunan suatu bangsa. Isu kesetaraan Hak perempuan merupakan problematika yang rumit. Hal tersebut disebabkan oleh kompleksnya permasalahan dan kesetaraan perempuan dalam politik.
Kesetaraan perempuan dalam bidang politik tidak semata-mata berdasarkan jumlah kuota,namun juga menyangkut status sosial perempan dalam kehidupan sosial. Setiap partisipasi politik prempuan di India memerlukan studi tentang peranan mereka selama gerakan kebebasan dan peran mereka dalam proses politik dan organisasi. Peran ini seperti diketahui dipengaruhi oleh Agama,adat istiadat,patriarkhi,dan faktor lainnya. Jika melihat dari beberapa laporan mengenai keterlibatan perempuan dalam parlemen,India masih berada pada peringkat yang cukup jauh dibandingkan dengan Negara demokrasi lainnya. Negara Bangladesh tergolong salah satu Negara termiskin di dunia. Tetapi walaupun pendapatan per kapita di Negara Bangladesh tergolong rendah,apa yang dicapai di sektor kesehatan dan pendidikan bagi kaum perempuan masih jauh lebih baik dibandingkan dengan Negara-negara tetangga lainnya di Asia selatan. Kalau dilihat situasi standar di Asia selatan 10 tahun yang lalu,dimana anak perempuan tertinggal jauh di belakang anak laki-laki,maka sekarang di sekolah menengah anak perempuan maupun anak laki-laki sama banyak nya. Ini merupakan perubahan terbesar yang terjadi di Bangladesh.
Perubahan-perubahan ini tidak lain disebabkan oleh efek dari perkembangan pemikiran manusia dan juga ideologi yang berlaku. Penelitian ini nantinya akan membahas terkait isu gender dan politik di Banglades dan India.

B.      RUMUSAN MASALAH
Perubahan-perubahan dalam lingkungan sosial terutama dalam pembedaan perlakuan antara pria dan wanita merupakan efek dari perubahan era serta  perkembanga pemikiran. Karya ilmiah ini ditulis untuk memaparkan isu gender yang terjadi di India dan Banglades yang ada saat ini dengan membandingkannya dengan isu terdahulu dengan rumusan masalah : “Bagaimana Isu Gender dan Politik di Banglades dan India saat ini?”

C.  TUJUAN PENULISAN
Karya ilmiah ini ditulis dengan tujuan untuk mengetahui keadaan sossial dari isu gender terhadap perpolitikan di India dan Bangladesh yang berkembang saat ini.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    GENDER & POLITIK
Politik secara umum sering didefinisikan sebagai ilmu dan sebagai seni maupun praktik tentang pemerintahan -yang di dalamnya terdapat aspek kekuasaan yang terorganisir, institusi-institusi kekuasaan, ataupun perlawanan-perlawanan-. Konsep politik ini hampir selalu dihubungkan dengan pemerintahan negara. Ketika berbicara politik, orang kemudian merujuk pada partai politik, lembaga eksekutif atau legislatif. Padahal, pada dasarnya, manusia adalah homo politicus, yang berarti bahwa mereka memiliki kecenderungan berpolitik dalam kehidupan sehari-hari. Mereka mempraktikkan perjuangan, perlawanan, pertentangan, kompetisi, serta strategi-strategi untuk mencapai tujuan tertentu. Selalu terjadi hubungan kekuasaan antara aktor-aktor sosial yang berbeda dalam masyarakat dalam bentuk hubungan individual maupun kolektif baik secara vertikal maupun horisontal.
Politik adalah unsur yang penting dalam pemerintahan suatu Negara. Politik merupakan sebuah aspek utama yang memegang pengaruh terhadap bidang-bidang lainnya, baik itu pendidikan, ekonomi, keamanaan dan lain-lain. Konsep politik tersebut mengacu pada hubungan kekuasaan yang lebih luas, tidak hanya pada tataran elit politik, tetapi pada masyarakat umum dengan berbagai kategori berbeda yang terimplikasi di dalamnya misalnya gender, kelas, golongan usia, etnisitas, dan sebagainya.
Gender menjadi aspek dominan dalam definisi politik tersebut. Dalam relasi kelas, golongan usia maupun etnisitas, gender juga terlibat di dalamnya. Hubungan gender dengan politik dapat ditemukan mulai dari lingkungan keluarga antara suami dan istri sampai pada tataran kemasyarakatan yang lebih luas, misalnya dalam politik praktis. Tataran hubungan kekuasaan itu pun bervariasi, mulai dari tataran simbolik, dalam penggunaan bahasa dan wacana sampai pada tataran yang lebih riil dalam masalah perburuhan, migrasi, kekerasan, tanah, dan keterwakilan perempuan dalam partai politik. Dimensi-dimensi yang dapat menjadi dasar analisis terhadap relasi gender dan politik pun beragam, mulai dari dimensi kultural, ideologis, sampai historis. Hubungan gender dengan politik ini penting untuk dicermati karena banyak permasalahan yang ada dalam masyarakat bertolak dari ketimpangan hubungan keduanya.
Dinegara demokrasi, politik dan Gender harus saling berikatan kuat. Demokrasi mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran serta penuh bagi laki-laki maupun perempuan, atas dasar prinsip persamaan derajat, dalam semua wilayahdan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan keputusan. Platform Aksi Beijing dan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau CEDAW) merekomendasikan agar semua pemerintah di dunia agarmemberlakukan kuota sebagai langkah khusus yang bersifat sementara untuk meningkatkan jumlah perempuan di dalam jabatan-jabatan appointif (berdasarkanpenunjukan/pengangkatan) maupun elektif (berdasarkan hasil pemilihan) pada tingkat pemerintahan lokal dan nasional.
Diskriminasi berdasarkan gender masih terjadi pada seluruh aspek kehidupan, dan semua sector  pembangunan di seluruh negeri. Ini adalah fakta yang tidak dapat dipungkiri, meskipun ada  kemajuan yang cukup pesat dalam kesetaraan gender dewasa ini. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat bervariasi di berbagai negara atau wilayah. Tidak ada satu wilayah pun di negara berkembang dimana perempuan telah menikmati kesetaraan dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi. Kesenjangan gender dalam kesempatan dan kendali atas  sumber daya, ekonomi, kekuasaan, dan partisipasi politik dan pengambilan keputusan terjadi di mana-mana. Perempuan baru pada tataran sebagai objek pembangunan belum menyasar sebagai pelaku pembangunan. Salah satu factor yang menyebabkan lingkaran ketidakadilan gender ini berada pada tataran kebijakan yang masih bias gender.
Beberapa waktu terakhir, isu kesetaraan gender telah menjadi hal menonjol dalam platform pembangunan, tidak saja di Indonesia, tetapi juga di dunia internasional. Kitatentu memahami bahwa selama ini perempuan secara sosial terpinggirkan. Budaya partriarkis yang tidak ramah pada perempuan. Ada konstruksi sosial budaya yang menempatkanperempuan seolah-olah hanya boleh mengurus soal-soal domestik saja. Tak ada hak untuk merambah area public yang lain. Kenyataan ini menunjukkan bahwa keyakinan itu masih tertanamkuat. Persoalan perwakilan perempuan menjadi penting manakala kita sadar bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita melihat perempuan tidak secara proporsional terlibat dalam kehidupan di ranah publik. Hal ini sangat menyedihkan apabila dilihat dari komposisi penduduk antara laki-laki dan perempuan yang hampir berimbang. Sebagai bentuk representasi perempuan di legislative masih sangat minim, yang masih menjadi pemikiran kita bersama
Saat ini,jika membahas masalah gender didalam politik, masalah yang paling utama adalah partisipasi wanita didalam politik itu sendiri. Representasi perempuan dalam bidang politik boleh dikatakan masih jauh dari apa yang kita harapkan. Pendidikan politik merupakan salah satu aktivitas yang bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan orientasi-orientasi politik pada setiap individu maupun kelompok. Proses pendidikan politik dilakukan agar masyarakat luas dapat menjadi warga negara  yang sadar dan menjunjung tinggi akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan bernegara, serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender.
Permasalahan keterwakilan dalam ranah politik menjadi pemabahasan ynag alot akhir-akhir ini. Berbagai argument bermunculan dengan keterlibatan perempuan dalam kancah politik baik itu yang pro da nada pula yang kontra dengan hal tersebut. Dalam sebuah penilitian yang dilakukan oleh WRI (Women Research Institute) yang dipostkan dalam website resminya mengatakan bahwa  realitas kepemimpinan perempuan di daerah ada 2 pendapat pro dan kontra:
Pendapat yang pro, didasarkan pada argumentasi bahwa pemimpin perempuan akan lebih peka terhadap permasalahan dan diharapkan mampu memperjuangkan kepentingan perempuan.
Pendapat yang kontra, didasarkan pada argumentasi:
·         Nilai-nilai agama yang ditafsirkan secara tekstual,
·         Nilai budaya, dan pemahaman gender yang menghambat perempuan
·         Pemimpin perempuan tidak dengan sendirinya mampu memperjuangkan kepentingan perempuan.
Dari sumber diatas jelas bahwa apa yang diwacanakan selama ini bukan hanya sebatas tulisan teoritik saja akan tetapi fakta yang riil yang terdapat dilapangan. Penafsiran secara tekstual terhadap nilai-nilai agama menjadi permasalah yang utama. Dimana Islam sering diklaim sebagai Agama yang tidak mensyaratkan perempuan sebagai penguasa atau pemimpin yang berdasarkan pada berbagai macam dalil.
Factor penghabat yang kedua adalah nilai budaya, dimana masih kental budaya Patriarki yang dianut dalam masyarakat. Perempuan hanya terdapat didalam lingkungan domestic dan tidak diharuskan dalam wilayah public karena itu merupakan wilayahnya kaum laki-laki. Perempuan hanya menjadi pelayan rumah tangga yang baik dan menuruti semua kehendak kepala rumah tangganya yaitu suami atau orang tua.
Persepsi bahwa perempuan itu lemah, ketidak tegasan, lambat dalam menentukan keputusan adalah menjadi factor yang selanjutnya sebagai penghambat akan keterlibatan perempuan dalam ranah public dan politik. Ini merupakan argument justifikasi yang salah menurut penulis. Karena tidak semua hal tersebut melekat dalam diri perempuan. Perempuan yang memiliki pendidikan yang tinggi serta aktif dan mempunyai pengalaman yang luas dalam hubungan social akan memiliki kapasitas yang sama dengan laki-laki.
Factor penghambat akan keterlibatan perempuan dalam politik dan public terjadi karena kurangnya kesempatan dan peluang bagi kaum perempuan dalam memperoleh pendidikan yang cukup. Sehingga ketika pendidikan itu tidak didapatkan sepenuhnya maka bukan hanya ranah public yang tidak dapat dimasuki akan tetapi yang lebih ironisnya juga akan terjadinya marginalisasi, kemiskinan, dikriminasi, kesehatan yang buruk, serta tumbuh kembang anak-anak juga akan terpengaruhi.
Hal ini ditekankan karena pada realitasnya, masih dirasakan adanya kesenjangan antara peranan yang dilakukan oleh kaum pria dan perempuan pada berbagai peran, utamanya pada peran-peran publik. Oleh karena itu, peningkatan peran perempuan dalam pembangunan yang berwawasan gender sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, mempunyai arti yang penting dalam upaya untuk mewujudkan kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dan perempuan agar dapat terwujud kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai kegiatan khususnya bidang politik.
Perempuan mempunyai makna yang sangat penting untuk memberikan pemahaman dan menyatukan persepsi tentang pentingnya pembangunan demokrasi yang sehat, adil dan realistis. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan politik perempuan, perlu ditingkatkan baik dari segi organisasional maupun pemantapan pilar-pilar demokrasi melalui lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang aspiratif dan pro terhadap kepentingan perempuan. Kondisi semacam ini perlu mendapat perhatian khusus, untuk itulah salah satu hal yang perlu ditangani adalah masalah pendidikan politik bagi kaum perempuan, sehingga dengan tumbuh berkembangnya kesadaran politik dikalangan perempuan, mereka diharapkan mampu memanfaatkan kesempatan dan peluang yang ada sesuai potensi yang dimiliki dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan khusus afirmasi (Affirmative Action) harus segera diubah dengan srategi Pengurus Utamaan Gender (PUG) di semua bidang kehidupan, khususnya di semua lini dan strata untuk mempercepat persamaan akses, partisipasi, kontrol, serta manfaat yang sama antara perempuan dan laki-laki.



B.     PERKEMBANGAN GENDER DALAM POLITIK DIINDIA
Terdapat empat argumen penting dalam mempertanyakan partisipasi wanita baik dalam level global ataupun India. Argumen pertama mencoba untuk memandang patisipasi wanita sebagai bagian dari pemberian kekuasaan terhadap wanita sebagai kategori politik[1]. Argumen kedua mencoba untuk mendebat bahwa hak voting atau hak pilih tetap sebagai simbol[2] atau tanda politik dari pada aktualisasi partisipasi dalam masyarakat tradisional seperti India, Iran dan lainnya. Dan argumen ketiga memandang hak pilih sebaagai komponen esensial untuk menciptakan masyarakat sederajat dan argumen terakhir mendebat bahwa partisipasi politik terutama lewat kuota atau reservaasi tidak seharusnya mengarah pada emansipasi wanita, karena wanita masih tetap tidak memiliki hak dan prasangka gender masih beroprasi dalam wilayah yang luas[3].
Dalam sistem politik manapun, mulai dari negara berkembang sampai negara maju, kehadiran wanita sangat rendah dibandingkan pria. Di banyak negara wanita sudah melalui pertarungan panjang untuk dapat memiliki hak voting. Saat ini, persentasi wanita sebagai voter telah meningkat, namun partisipasi politik masih tidak setara dengan pria dan untuk itu wanita tidak mampu untuk mendapat pembagian yang setara dalam organisasi yang membutuhkan pembuatan keputusan. Wanita telah dikategorikan sebagai bagian tidak signifikan dalam arena politik. Politik dalam berbagai kategori masih didominasi oleh priaa.
Penghilangan wanita dari posisi kuasa berefek pada kempuan dalam menantang perbudakan wanita dalam berbagai perwujudan. Wanita harus berada dalam politik dan kekuasaan untuk berpartisipasi sebagai wanita dan untuk mengubah sifat dasar kekuasaan yang mengecualikan mereka. Waniita yang terdiri dari hampir setengah populasi harus diwakilkan dalam badan pembuat keputusan. Jika tidak, tujuan dalam pengembangan ridak bisa dicapai.
Kenyataannya, partisipasi wanita telah memberikan pandangan atau perspektif yang berbeda. Salah saty perspektif yang ada dikenal sebagai Perspektif Incrementalisme[4]. Perspektif yang menyatakan bahwa kesetaraan gender adalah fenomena yang bertahap. Berdasarkan pandangan ini kesetaraan gender berkembang bertahap, secara bertahap dan sebagai usaha bersama dimana intervensi neagra mungkin dapat membantu dalam mencapai kesetaraan gender. Faktanya, Di India, Perspektiv Incrimentalisme mendominasi pandangan politik.  Menariknya, partisipasi wanita memiliki sejarah yang panjang di India, sejak masa pre-kolonial.
a.       Status Wanita Dalam Sejarah Awal India
Setiap masyarakat manusia dikarakteristikan tidak terkecuali oleh pembedaan sosial. Diantara pembedaan tersebut, pembedaan berdasarkan gender adalah salah satunya. Hal ini terlihat lebih spesifik pada masa awal peradaban. Perlakuan antara wanita dan pria dibedakan. Mereka ditempatkan dalam peran dan status yang berbeda. Pria ditempatkan dalam mencari penghidupan dan melindungi wanita serta anak-anak sementara wanita berperan dalam produksi keturunan dan pekerjaan rumah tangga. Rekam sejarah menunjukan bahwa posisi wanita di India berbeda setiaap zamannya. Pemahaman sejarah status wanita di masa awal India menunjukan tren kemunduran dalam posisi wanita.
A.S.Altekar membagi masyarakat dalam beberapa kelompok. Dalam Rig Veda ( 2500 sebelum masehi sampai 1500 sebelum masehi), posisi wanita cukup memuaskan. Wanita memiliki edukasi yang sama dengan pria dan berlangsung sampai periode Brahmakarya. Wanita bahkan memilii kebebasan dalam aktivitas politik yang berbeda dalam sosial dan kehidupan politik
Pada masa antara 1500 sebelum masehi sampai 500 sebelum masehi, terdapat kemunduran dalam level edukasi wanita. Sistem yang menyatakan untuk mengirimkan wanita kepada pengajar terkenal semakin berkurang. Hanya saudara pria, seperti ayah dan saudara lelaki yang dapat mengajari wanita. Terdapat kecenderungan dalam membatasi hak beragama dan hak wanita. Namun wanita memiliki posisi terhormat dalam rumah tangga dan dapat beraktivitas dengan bebas dalam keluarga ataupun masyarakat[5].
Pada masa 500 sebelum masehi sampai 500 sesudah masehi, posisi wanita semakin memburuk. Pernikahan antara wanita non-Arya terhadap pihak Arya dianggapsebagai kunci kemunduran posisi wanita. Wanita non-Arya tidak perduli akan bahasa sansekerta dan hal ini merupakan rintangan dalam menjadi bagian dari hak agama yang harus dibiasakan oleh Istri seorang Arya. Umur bagi baik wanita ataupun wanita untuk dapat dinikahkan semakin menurun. Namun, hak untuk memiliki bagi wanita saat itu sudah mulai diakui, hal ini disebabkan karena wanita janda tidak dibolehkan untuk menikah lagi sehingga harus dapat bertahan hidup sendiri[6].
Selama tahun 500 sampai 1800 setelah masehi, selain hak untuk memiliki kekayaan sendiri yang sudah dimiliki wanita, posisi wanita semakin menurun. Wanita dikategorikan sama dengan golongan sudra. Umur wanita untuk dapat dinikahkan semakin menurun. Hak untuk menikah lagi bagi para janda sudah hilang . Wanita dengan keras hanya boleh berada didalam rumah. Kebebasan mereka sangat dibatasi dan menjadi sangat tergantung kepada pria, artinya seluruh hidupnya hanya akan tergantung kepada ayahnya, suaminya dan anak lelakinya.
Para ilmuawan feminis berpendapat bahwa sejarah ini merupakan produk dari interaksi pada abad 19 antara kolonialisme dan nationalisme. Bahkan dari sumber Brahma, terdapat bukti yang cukup untuk menunjukkan bahwa struktur dari institusi yang memastikan perbudakan wanita telah ada sejak sebelum Muslim sebagai komunitas religi muncul. Wanita hanya dikenal sebagai istri dan ibu dalam masyarakat yang mengutamakan posisi pria.
b)      Partisipasi Politik Wanita India
Secara demografis, berdasarkan sensus tahun 2001, total  populasi India adalah 102.70 juta jiwa. 49,5% dari jumlah populasi ini adalah wanita yang mana hampir setengahnya. Berdasarkan sensus tahun 1901, perbandingan jumlah wanita adalah (Per 1000 pria) 979 dan berdasarkan sensus tahun 2001, telah turun menjadi 933. Penurunan ini adalah dikarenakan sikap apatis terhadap anak perempuan. Faktanya, pada tahun 1991 penurunan terjadinya sampai sejumlah 927 yang artinya pada tahun 2001 terjadi peningkatan.
Table No.2.4: Decennial sex ratio in India (females per 1000 males)
Tahun
Jumlah Wanita per 1000 Pria
1901
972
1911
964
1921
955
1931
950
1941
945
1951
946
1961
941
1971
930
1981
934
1991
927
2001
933
Source: Census of India
Berdasarkan sensus tahun 2001, dari setiap 1000 wanita, 542 wanita mampu baca tulis(54,2%). Hal ini menunjukkan 45,8% wanita sisanya masih tidak bisa baca tulis. Jika dibandingkan dengan rata-rata julah pria yang mampu baca tulis, rata-rata wanita selalu lebih rendah.
Total partisipasi wanita dalam politik pada tahun 2001 adalah 25,68% dan itu sudah termasuk 13,45% wanita pedesaan dan 11,55% wanita perkotaan. 71,8 % wanita dipekerjakan dalam sektor utama, 21,7 % pada sektor kedua dan sisanya pada sektor produksi. Statistik ini menunjukan bahwa rata-rata yang mampu baca tulis dan rata-rata partisipasi kerja wanita meningkat setiap harinnya namun dengan sangat perlahan. Pembunuhan balita perempuan dimasyarakat India semakin meningkat karena anggapan wanita hanya akan menjadi beban keluarga. Status sekunder yang diberikan pada wanita oleh masyarakat India telah menempatkan kerugian bagi posisi wanita dalam berbagai bidang.
c)      Partisipasi wanita setelah Kemerdekaan
Dasar partisipasi wanita dalam bidang politik diletakkan saat gerakan kemerdekaan dijalankan. Perpindahan kekuasaan dari Inggris ke India memberikan wanita kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses demokratisasi. Perhitungan dalam jumlah besar dari legal, sosial dan juga ekonomi telah diambil oleh pemerintah untuk meningkatkan status wanita India. Wanita juga sudah sadar secaara politis, karena mereka sudah mulai berpartisipasi dalam politik negara dan nasional.
Konstitusi India, salah satu dokumen terkenal yang pernah diproduksi mulai berlaku sejak tahun 1950 menjamin keadilan, kebebasan dan kesetaaraan kepada semua masyarakatnya. Pembukaan konstitusi India menyatakan untuk mengamankan keadilan, sosial, ekonomi dan politk, kebebasan berpikir, ekspresi, kepercayaan pemujaan, dan kesetaraan status masyarakatnya. Untuk mencapai ini, Konstitusi menjamin hak-hak dasar. Pasal  dan amandemen yang spesifik telah diletakkan untuk memastikan bahwa wanita dan anak-anak menikmati hak Konstitusi tersebut.
Para wanita pada masa setelah kemerdekaan memainkan peran penting dalam aktivitas konvensional seperti gerakan enviromental, anti alkohol, gerakan perdamaian dan bahkan aktivitas revolusi yang mana memiliki pengaruh karena mereka memiliki kapasitas untuk memengaruhi negara. Namun, politik tetap menjadi wilayah yang tidak ramah kepada wanita dan tetap menjadi wilayah dominan bagi pria yang mana merupakan tempat yang dilarang untuk dimasuki wanita. Perwakilan wanita diparlemen masih berada dalam tahap yang masih rendah. Perwakilan wanita masih berkisar 10,8% diparlemen. Tidak diragukan lagi bahwa kursi parlemen memang diberikan pada wanita namun tidak menjamin kekuasaan wanita dalam hitungan jumlah.












C.     PERKEMBANGAN GENDER DALAM POLITIK DI BANGLADESH
Ketidaksetaraan gender (Gender inequality) adalah salah satu isu yang paling penting di seluruh dunia saat ini. Sementara pertarungan untuk ketidaksetaraan gender terus berlanjut di setiap bidang, perempuan masih menjadi pihak yang didiskriminasi di masyarakat yang didominasi laki-laki.
Stigma yang berkembang di Bangladesh adalah wanita harus patuh terhadap laki-laki, dimana Bangladesh sendiri adalah Negara yang masyarakat nya sangat patriarkal dan diskriminasi gender terbukti di semua tingkat. Perempuan sangat jarang memiliki peran di setiap sektor di Bangladesh; Secara tradisional peran wanita adalah putri, istri dan ibu. Kegiatan mereka di lingkungan sosio-budaya Bangladesh terutama bersifat domestik terbatas pada empat dinding rumah. Mereka juga kekurangan akses terhadap keadilan atas hak asasi manusia, karena distribusi ras, etnisitas, budaya, agama, sosial dan ekonomi.
Kesetaraan gender atau kesetaraan antara laki-laki dan perempuan bergantung pada konsep bahwa semua manusia, baik pria maupun wanita, bebas mengembangkan kemampuan pribadi mereka dan membuat pilihan tanpa batasan yang ditetapkan oleh stereotip, stigma peran gender dan prasangka yang kaku. Kesetaraan gender berarti bahwa perbedaan perilaku, aspirasi dan kebutuhan perempuan dan laki-laki dipertimbangkan, dihargai dan disukai secara setara. Ini tidak berarti bahwa perempuan dan laki-laki menjadi sama, namun hak, tanggung jawab dan kesempatan mereka tidak akan tergantung pada apakah mereka dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan.[7]
Sebuah studi dari ICDDRB (Pusat Penelitian Penyakit Diare Internasional), menemukan bahwa ketidaksetaraan gender ada di setiap wilayah, terutama di daerah pedesaan Bangladesh. Seperti tipikal negara berkembang lainnya, Bangladesh tidak terbebas dari masalah gender karena memiliki tingkat buta huruf yang tinggi dan over populated, daerah pedesaan di Bangladesh jauh lebih terbelakang secara ekonomi daripada daerah kota. Sebagian besar keluarga Bangladesh masih belum keluar dari norma dan kebiasaan sosial tradisional. Pada dasarnya, asal usul bias gender adalah norma dan tradisi sosial, yang masih ada di sebagian besar keluarga di negara ini, baik di wilayah kota maupun di daerah pedesaan. Berbagai elemen sistem sosial berinteraksi sehingga membuat perempuan bergantung pada laki-laki dan berisiko menjadi miskin ketika ditinggalkan, sehingga hal ini menghasilkan pembagian kerja yang kaku dan pasar kerja yang sangat terpisah menurut jenis kelamin.[8]
Di Bangladesh, rumah tangga adalah unit produksi dan konsumsi utama. Pria umumnya memiliki dan mengelola lahan dan pendapatan keluarga, sedangkan perempuan berkontribusi besar terhadap perekonomian dan keluarga. Mereka tidak hanya berpartisipasi dalam pertanian dan tenaga kerja industri, tetapi juga mereka sepenuhnya bertugas memasak, bersih-bersh, mengumpulkan kayu bakar dan air serta mencuci. Selain itu, mereka memikul tanggung jawab penuh untuk membesarkan anak dan merawat orang tua dan lemah.[9]

a)         Isu-isu Gender di Bangladesh
Sebuah studi yang baru-baru ini dilaksanakan oleh Bank Dunia, mengenai isu dimensi gender (2002), dimana beberapa negara berpenghasilan rendah dan menengah dipilih sebagai variable penelitian dan mereka menemukan fakta bahwa, Bangladesh terletak pada kisaran per kapita yang rendah dan perkembangan kemajuan gendernya juga sangat rendah. Menurut penelitian ini menunjukkan bahwa ada jaring pengaman atau operasi yang relevan di semua negara yang dievaluasi, namun pada umumnya mereka tidak berusaha mengurangi dampak buruk pada perempuan secara khusus.[10]
Studi tersebut juga menunjukkan bahwa, tingkat keparahan kesenjangan gender di Bangladesh relative tinggi sementara rumusan kebijakan untuk mengintegrasikan isu gender dalam tindakan perlindungan sosial adalah moderat. Tapi hal yang paling disayangkan, adalah tidak ada pemantauan sama sekali mengenai implementasi kebijakan untuk mengurangi kesenjangan gender. Beberapa indikator terpenting yang menunjukkan status wanita di Bangladesh adalah seperti berikut[11]
·         Perempuan sebagian besar adalah orang miskin
·         Mereka memiliki akses yang kurang terhadap pekerjaan formal dan berpenghasilan lebih rendah
·         Mereka terus menghadapi kekerasan dan pelecehan
·         Ketidaksetaraan tercermin dengan baik dalam indikator kesehatan
·         Angka kematian ibu di Bangladesh adalah salah satu yang tertinggi di dunia
·         Angka kematian dan tingkat gizi buruk untuk anak perempuan lebih tinggi daripada anak laki-laki
Sebenarnya, Bangladesh telah memiliki kebijakan untuk memajukan hak-hak perempuan sejak tahun 1976. Kementerian Urusan Perempuan dan Anak berfungsi sebagai focal point dalam mesin nasional untuk memajukan isu-isu perempuan. Perannya adalah untuk memfasilitasi perspektif kesetaraan gender di semua bidang kebijakan serta mendukung, mengkoordinasikan, mengkomunikasikan dan memantau pelaksanaan Rencana Aksi Nasional (RAN). Tujuan utama RAN adalah: menghapus hambatan hukum, ekonomi, politik atau budaya, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kebutuhan diferensial perempuan, untuk memperbaiki pembangunan perempuan dan memberikan kesempatan kesetaraan penuh. Meski begitu, kesenjangan gender masih menjadi salah satu penyebab utama hambatan perkembangan ekonomi Bangladesh. Upaya pemerintah nampaknya tidak memadai dan tidak tepat untuk menyelesaikan masalah ini.[12]
Perubahan pola populasi kepemilikan tanah di daerah pedesaan berdampak pada hubungan gender dan posisi perempuan di seluruh Bangladesh. Pertama, fragmentasi atau system pembagian kepemilikan dimana dalam pembagian hak nya, perempuan mendapatkan jatah yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Sehingga peran dan posisi perempuan dalam rumah tangga semakin berkurang. Serentak, hak normatif perempuan terhadap dukungan sosial di luar keluarga melemah. Dengan demikian perempuan menjadi lebih rentan terhadap kemelaratan dan kemiskinan yang ekstrem. Selain itu, kemungkinan perempuan untuk kerja di pabrik dan sawah juga menurun, dimana tugas mereka untuk menggiling padi menjadi beras telah diambil alih oleh tenaga mesin berteknologi tinggi. Sedangkan di dalam rumah tangga, pekerjaan perempuan memiliki tingkat produktivitas yang semakin rendah.[13].
Kemunculan trend baru, sistem pernikahan tidak berbasis Islam yang tidak beraturan adalah manifestasi dari perubahan-perubahan ini. Hal ini menandakan bahwa wanita semakin dipandang sebagai beban ekonomi oleh keluarga pemberi istri dan keluarga penerima istri. Keluarga kaya dapat memperoleh keuntungan dari meminjamkan uang ke rumah tangga yang lebih miskin dan mengklaim aset mereka secara default. Jumlah penduduk miskin pedesaan berkembang sehingga mereka bermigrasi ke daerah kumuh perkotaan. Kemiskinan perkotaan, khususnya rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan, seharusnya mendapat perhatian lebih dari para analitis dan pembuat kebijakan, walaupun hal ini, tentunya bertentangan dengan dorongan utama kebijakan pemerintah untuk mengurangi migrasi pedesaan-perkotaan.
 Bangladesh adalah salah satu penandatangan di antara 189 negara untuk Deklarasi Milenium 2000. Sebagai bagian dari itu, Bangladesh bekerja untuk mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals / MDGs) yang berkomitmen pada serangkaian target pembangunan yang disepakati secara internasional. Laporan kemajuan MDG yang pertama berfokus terutama pada penilaian orang awam tentang MDG di Bangladesh dan di luarnya dan membahas serangkaian dasar sosial ekonomi, pelayanan publik dan indikator yang relevan. Analisis telah dilakukan dalam hal status sekarang, dimana terjadi perkembangan atau regresi dari waktu ke waktu dan tingkat perubahan dengan fokus pada gender dan variasi regional.[14]
Kekerasan gender adalah fakta kehidupan sehari-hari dan seringkali mematikan bagi jutaan perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia. Di sebagian besar wilayah Bangladesh, terutama keluarga yang patriarkal, patrilokal dan patrilineal sangat umum dikenal jenis hubungan yang disebut gender egaliter dimana hubungan ini sangat terkait dengan kekerasan gender. Wanita didefinisikan sebagai inferior; Suami diasumsikan 'memiliki' wanita dan memiliki hak untuk mendominasi mereka, jika perlu dengan menggunakan kekerasan.
Kekerasan dalam rumah tangga sangat tertanam dalam norma patriarkal dan hubungan gender di Bangladesh. Keunikan kekerasan spesifik gender di tempat-tempat umum seperti kekerasan dalam rumah tangga, terutama pemukulan istri, barangkali merupakan bentuk kekerasan paling sering terjadi terhadap perempuan. Di negara-negara yang melakukan studi skala besar mengenai kekerasan gender, lebih dari 20% perempuan dilaporkan telah mengalami kekerasan dalam segala bentuk dari laki-laki yang tinggal bersama mereka. Situasi di Bangladesh sebenarnya lebih buruk, dimana setengah dari wanita disana dilaporkan telah mengalami kekerasan oleh suami mereka. Kekerasan berbasis gender termasuk pemukulan istri, pemerkosaan, pelecehan seksual dan penyiksaan dan pembunuhan sangat tersebar luas. [15]
b)      Status Wanita secara Konstitusional
Perempuan memiliki beberapa hak dasar yang diakui oleh konstitusi Bangladesh. Menurut Pasal 15 (d), di bawah judul Prinsip Dasar Kebijakan Negara, hak dan kesempatan bagi perempuan adalah sebagai berikut:[16]
Pasal 27: kesetaraan semua warga negara di depan hukum dan perlindungan yang sama di bawah hokum.
Pasal 28 (1): tidak ada diskriminasi atas dasar agama, ras, kasta, jenis kelamin atau tempat lahirnya. Pasal 28 (2): kesempatan yang sama untuk pria dan wanita di semua bidang kehidupan negara dan masyarakat. Pasal 28 (3): tidak ada diskriminasi atas dasar agama, ras, kasta, jenis kelamin atau tempat lahir dalam memberikan akses ke tempat hiburan atau resor umum manapun, atau masuk ke institusi pendidikan manapun.
Pasal 29 (1): kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam hal pekerjaan atau jabatan dalam pelayanan republik. Pasal 65 (3): perempuan bebas untuk mengikuti pemilihan dari setiap konstituensi. Yang mana awalnya hanya 15 kursi dicadangkan untuk wanita, saat ini menjadi 45 kursi.``
c)      Wanita dalam pembuatan Kebijakan, Politik dan Administrasi
Status perempuan dalam masyarakat yang sedang berkembang adalah akibat dari kedudukan nya di dalam keluarga, di berbagai institusi sosial dan administratif dan pada tingkat pengambilan keputusan politik. Dalam kasus wanita Bangladesh, semua hal ini telah berkontribusi sebagai faktor pendukung untuk melepaskannya dari arus utama hierarki politik dan administrasi. Partisipasi perempuan dalam gerakan politik dan nasional sangat diabaikan. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir dua wanita telah muncul sebagai pemimpin politik penting di negara ini, akan tetapi kekuasaan itu di dapat melalui hubungan pribadi mereka dengan pemimpin politik laki-laki yang telah meninggal dari masing-masing pihak. Wanita biasanya tidak berpartisipasi dalam proses politik.
Partisipasi politik perempuan di Bangladesh relative rendah disebabkan oleh buta huruf dan sedikit keterlibatan perempuan dalam kehidupan publik dan politik. Sebagai contoh, anggota perempuan dari Union Parishad (bagian terendah dari unit lokal), tingkat terendah dari Pemerintah Daerah, walaupun terpilih dalam pemilihan langsung, secara harfiah mereka memiliki kekuatan yang lebih sedikit. Banyak perempuan yang hidup di desa-desa dan wanita yang tinggal di trotoar kehilangan hak suara mereka. Patriarki masih mengendalikan semua institusi masyarakat, diantara nya, parlemen, perusahaan, militer, yudikatif, pendidikan dan organisasi non politik. [17]
 Di legislatif sendiri, agar memiliki representasi wanita yang adil, dari 345 kursi, 45 kursi dicadangkan khusus bagi wanita. Namun ini tidak menghalangi wanita untuk mengikuti salah satu dari 300 kursi umum - yang tentu saja lebih merupakan masalah teori daripada praktik.  Pemilu tidak langsung untuk perempuan (melalui seleksi) oleh badan utama yang terdiri dari anggota parlemen laki-laki yang sangat banyak membuat anggota perempuan terpilih benar-benar tunduk pada laki-laki dan tidak efektif untuk tujuan tersebut. Tabel 4 menunjukkan situasi wanita dalam politik sejak awal Bangladesh
Di sisi lain, partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik dan administrasi tetap sangat ramping. Saat ini sangat sedikit perempuan Bangladesh yang dapat ditemukan dalam posisi kepemimpinan politik baik di struktur pemerintah pusat maupun daerah, dan bahkan dalam hirarki administratif. Akibat kurangnya kesempatan untuk campur tangan pada tingkat kebijakan dan pengambilan keputusan, perempuan memiliki dampak minimal dalam perencanaan, pengelolaan dan pelaksanaan kebijakan. Kita hanya perlu melihat beberapa wanita yang memegang posisi senior di eselon atas birokrasi yang menjadi contoh betapa kurangnya representasi serius mereka. Seperti halnya perempuan di politik dan administrasi public, juga tidak ada di tingkat manajemen puncak di sektor swasta.
d)     Analisa Panduan Kebijakan bagi Pemerintah Bangladesh
Berdasarkan Inequality gender yang banyak terjadi di Bangladesh, terdapat beberapa rekomendasi dan panduan kebijakan bagi pemerintah yang mengalami hal hal serupa khususnya pemerintah Negara – Negara berkembang seperti Bangladesh sebagai berikut :
·         Negara Bangladesh sudah melaksanakan kebijakan pendidikan dasar wajib dan gratis. Dengan demikian, tingkat partisipasi utama semakin tinggi. Tapi masalahnya masih terletak pada perempuan yang drop out di tengah jalankarena berbagai alasan. Pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengurangi drop-out dari tingkat pendidikan berikutnya untuk memastikan akses penuh terhadap pendidikan bagi anak perempuan terutama di daerah pedesaan. Langkah tersebut akan berdampak langsung pada peningkatan status sosial ekonomi wanita.
·         Komitmen politik pemerintah terungkap melalui aksi publik atas nama perempuan dan menemukan keputusan alokatif dalam menciptakan kondisi yang memungkinkan melalui penyediaan undang-undang, melalui intervensi kebijakan, melalui pembangunan institusi, melalui perintah eksekutif dan yang paling penting, melalui pelembagaan pengawasan aksi public. Jadi tidak cukup meloloskan undang-undang untuk perlindungan perempuan seperti pelarangan sistem mas kawin dan peraturan untuk meminta izin istrinya sebelum seorang pria menikah untuk kedua kalinya. Pengawasan kebijakan di semua tingkat dan konkretisasi peradilan diperlukan untuk memastikan bahwa hak perempuan dilindungi dalam praktik nya.
·         Inisiatif pemerintah dan swasta harus ditingkatkan untuk mempromosikan pemberdayaan perempuan dengan penekanan pada pengembangan sumber daya manusia, tenaga terampil dan mobilitas sosial; hal ini akan ditambah dengan penyediaan keuangan mikro yang akan memungkinkan perempuan tidak hanya perempuan miskin untuk tidak hanya melakukan kegiatan menghasilkan pendapatan tetapi juga membentuk komponen lain dari peningkatan pemberdayaan.
·         Upaya harus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran massa tentang kerugian wanita buta huruf dan tidak produktif dalam keluarga. Media elektronik dan cetak harus meningkatkan program mereka dalam publikasi mengenai isu tersebut, sehingga keluarga pedesaan dapat memahami pentingnya partisipasi penuh perempuan di semua bidang kehidupan.





BAB III
KESIMPULAN
A.    KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan diatas, ternyata dapat dibuktikan bahwasannya antara wanita dan pria untuk saat ini masih terdapat perbedaan, terutama di India dan Bangladesh. Umumnya perbedaan ini disebabkan oleh agama atau budaya yang berlaku diwilayah tersebut. Selain dikarenakan hal  tersebut juga disebabkan karena wanita dipandang sebagai memiliki sifat yang lemah.
Berdasarkan sejarah, baik India ataupun Bangladesh telah menganggap wanita sebagai gender yang inferior dibandingkan pria.Berdasarkan penelitian yang sudah dibahas, wanita hanya dianggap sebagai alat, pekerja atau pelayan dimata masyarakat. Namun hal ini tidak serta merta menyatakan bahwa setiap orang menganggap wanita demikian adanya. Namun dimata masyarakat demikianlah.
Pada saat ini India dan Bangladesh memang memiliki konstitusi yang lebih ramah terhadap wanita, namun tidak serta merta mengubah posisi wanita setara dengan pria. Masih banyak terjadi perbedaan status gender baik itu di India atau di Bangladesh. Wanita masih diperlakukan berbeda, walau dalam kategori yang lebih ramah. Maksudnya disini wanita diperlakukan dengan lembut namun tidak diizinkan untuk melangkah kedaerah dominansi pria dengan bebas.
Dengan adanya kondisi demikian, wanita juga tidak serta merta tinggal diam. Kini, baik itu di India atau Bangladesh, sudah terdapat banyak gerakan kesetaran dan aktivis-aktivis gender dalam bidang feminisme. Dan hal ini semakin membuka kesempatan bagi wanita untuk semakin setara dalam hal kesempatan pendidikan dan pekerjaan dengan wanita.





DAFTAR PUSTAKA
A, Rahman,  Asaduzzaman M, Rahaman A. “Millennium Development Goals: A people’s Progress Report Bangladesh”, Peoples Forum on MDG (PGM) di Dhaka, September 2005.
Asitic Socety of Bangladesh. “Bangladesh : The National Encyclopedia of Bangladesh; Vol. 10 Dhaka”, 2004.
Faria, Ahmed. “Gender Division of Labour; Bangladesh context”, Unnayan Podokkhep, Vol. 6 No. 6 No. 1 January- March 2001.
Haider, Sheikh Kabir Uddin. “Dimension and intensity of gender inequality in Bangladesh: an overview”, Journal of Research in Peace, Gender and Development, Vol 2 (10), Oktober 2012.
International Labor Organization (ILO),‘ABC of Women Workers and Gender Equality’, dapat diakses dari : www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---dgreports/---gender/.../wcms_087314.pdf  ILO Report on Gender Inequality, Geneva, 2000
MA,  Mamun. “Gender, Land and Livelihood in South Asia”, Centre for Policy Dialogue, Report No.37 Dhaka, September 2000.
MA, Mamun. “Violence Against Women’s: Marital Violence in Rural Bangladesh” CPD-UN FPA Paper-20, Centre for Policy Dialogue, Dhaka 2003.
S, Gita. “Form The Margin to the Mainstream Micro-Finance Programmes and Women’s Empowerment: The Bangladesh Experience”, Centre for Development Studies, University of Wales Swansea, UK, 2001.
The World Bank, ‘Bangladesh: Strategies for Enhancing the Role of Women in Economic Development’, A world Bank Country Study, Washington DC, January 1992.
The World Bank, “The Gender Dimension of Bank Assistance: An Evaluation of Results”, Operations Evaluation Department Report No. 23119, January, 2002.
Subhas C,Parida and  Nayak Sasmita.2009.Empowerment of women in India.Delhi : Nprthern book centre.
Rachna,Suchinmayee.2008.Gender, Human Rights and Environment.New Delhi : Atlantic Publications.
Jytte,Klausen & Maier Charles S.2001.Has liberalism failed Women -Representation in Europe and the US.New York : Palgrave Publishers.
Drude,Delharup.2006.Women, Quotas and Politics.London : Routledge publishers.
A.S,Altekar.2000.The Position of Women in Hindu Civilization. Retrospect and Prospect.New Delhi : Manohar Publication


[1]Parida Subhas C and  Nayak Sasmita, 2009, Empowerment of women in India,Delhi : Nprthern book centre.
[2] Suchinmayee Rachna, 2008,Gender, Human Rights and Environment,New Delhi : Atlantic Publications.
[3] Klausen Jytte, Maier Charles S,2001,Has liberalism failed Women -Representation in Europe and the US,New York : Palgrave Publishers.
[4] Delharup Drude,2006,Women, Quotas and Politics,London : Routledge publishers.
[5] Altekar A.S.,2000,The Position of Women in Hindu Civilization. Retrospect and Prospect,New Delhi : Manohar Publication, Hal : 53-55.
[6] Ibid, Hal 56-67
[7] International Labor Organization (ILO),‘ABC of Women Workers and Gender Equality’, dapat diakses dari : www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---dgreports/---gender/.../wcms_087314.pdf  ILO Report on Gender Inequality, Geneva, 2000
[8] The World Bank, ‘Bangladesh: Strategies for Enhancing the Role of Women in Economic Development’, A world Bank Country Study, Washington DC, January 1992
[9] Gita S, ‘Form The Margin to the Mainstream Micro-Finance Programmes and Women’s Empowerment: The Bangladesh Experience’, Centre for Development Studies, University of Wales Swansea, UK, 2001.
[10] World Bank, “The Gender Dimension of Bank Assistance: An Evaluation of Results”, Operations Evaluation Department Report No. 23119, January, 2002.
[11] Ibid
[12] Sheikh Kabir Uddin Haider, “Dimension and intensity of gender inequality in Bangladesh: an overview”, Journal of Research in Peace, Gender and Development, Vol 2 (10), Oktober 2012
[13] Mamun AA, ‘Gender, Land and Livelihood in South Asia’, Centre for Policy Dialogue, Report No.37 Dhaka, September 2000.
[14] Rahman A, Asaduzzaman M, Rahaman A , ‘Millennium Development Goals: A people’s Progress Report Bangladesh, Peoples Forum on MDG (PGM) di Dhaka, September 2005.
[15] Mamun MA, ‘Violence Against Women’s: Marital Violence in Rural Bangladesh’ CPD-UN FPA Paper-20, Centre for Policy Dialogue, Dhaka 2003.
[16] Asitic Socety of Bangladesh, “Bangladesh : The National Encyclopedia of Bangladesh; Vol. 10 Dhaka”, 2004, hal 407-413
[17] Ahmed Faria, “Gender Division of Labour; Bangladesh context”, Unnayan Podokkhep, Vol. 6 No. 6 No. 1 January- March 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Omicron menyebar : Para Epidemiologi : Jakarta Terancam

Ilmu Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang pola penyebaran penyakit atau kejadian yang berhubungan dengan kesehatan,...