REGIONALISME
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Interaksi
dalam hubungan internasional hanya mengenal dua bentuk: kerja sama atau
konflik. Kedua bentuk ini bisa saling mengisi satu sama lain. Dalam kerja sama,
perbedaan sudut pandang dan kepentingan nasional sering kali mengarahkan pada
saling berkonflik terkait dengan tujuan negara untuk melakukan kerja sama
selalu didasari oleh keinginan untuk mengejar kepentingan. Sinergi antara
berbagai tujuan dari negara-negara memerlukan kelapangan hati yang luas untuk
saling memahami satu sama lain. Sebaliknya, ketika negara-negara saling
berkonflik, solusi-solusi untuk mengatasinya dan menjaga agar konflik tidak
timbul lagi adalah dengan kerja sama.
Di
dalam makalah ini, regionalisme lebih menekankan pada bentuk interaksi kerja
sama dari negara-negara yang berdekatan secara geografis. Wujudnya bisa dalam
bentuk organisasi regional. Menggunakan analisis lebih dalam, regionalism lebih
melihat pada proses-proses yang melatarbelakangi terbentuknya kerja sama
regional tersebut: daya ikat apa yang pada akhirnya menyatukan negara-negara
dalam suatu wadah kerja sama regional. Namun, jika dalam suatu analisis, suatu
daya ikat tertentu mampu menyatukan negara-negara yang tidak saling bedekatan
tapi tetap melakukan kerja sama.
Regionalisme
yang menjadi studi penting di Hubungan Internasional, ketika pada kenyataannya,
suatu permasalahan global tetap memerlukan penanganan dalam ruang lingkup kerja
sama yang lebih kecil, yakni dalam tataran regional. Maka tim penulis akan
menjabarkan hal-hal yang penting dalam kerja sama regional di kawasan Asia
Tenggara dengan mengambil studi kasus ASEAN, dengan salah satu pilar ASEAN Community: ASEAN Political-Security Community sebagai fokus penelitian.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan rumusan masalah, yaitu:
A. Apa Pengertian
Sebenarnya dari Regionalisme?
B. Bagaimana Regionalisme
bisa Terbentuk?
C. Bagaimana
Mekanisme Kerja Sama di Wilayah Asia Tenggara?
D. Bagaimana
Peran Indonesia dalam Kerja Sama Regional Tersebut?
3. Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
A.
Sebagai syarat untuk
menyelesaikan tugas Politik Luar
Negeri dan Diplomasi Republik Indonesia.
B.
Untuk mengetahui secara
lebih lanjut mengenai regionalisme dan
kerja sama regional berupa ASEAN.
4.
Manfaat
Penulisan
Penulisan
makalah ini diharapkan bermanfaat sebagai:
A.
Menjadi sumber
informasi terkait regionalisme dan
kerja sama yang menjadi salah satu substansinya.
B.
Manfaat praktis: paper
ini dapat digunakan untuk penulisan tugas-tugas selanjutnya seperti proposal
maupun skripsi
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Regionalisme
Regionalisme dalam Hubungan
Internasional memiliki berbagai macam definisi dan biasanya para ahli membagi
regionalisme menjadi dua jenis. Pertama, regionalisme yang berdasarkan
kedekatan geografis yang dapat diartikan sebagai adanya koordinasi atau kerja sama
dalam bidang ekonomi dan politik oleh negara – negara yang secara geografis
berdekatan. Kedua, berdasarkan faktor non-geografis yang dapat diartikan
sebagai aktivitas government dan non-government. Kegiatannya berupa
peningkatan level ekonomi dan aktivitas politik di antara negara - negara yang
tidak berdekatan secara geografis.
Kerja sama antar negara-negara yang berada dalam suatu kawasan untuk mencapai
tujuan regional bersama adalah salah satu tujuan utama dari regionalisme.
Dengan membentuk organisasi regional dan menjadi anggota organisasi regional,
negara-negara tersebut telah menggalang bentuk kerja sama intra-regional.
Dengan kata lain, negara-negara dalam satu kawasan telah melakukan distribusi
kekuasaan di antara mereka untuk mencapai tujuan bersama.
Tetapi dalam praktik-praktik
di lapangan, definisi region atau
kawasan dan regionalisme sering tumpang tindih. Secara singkat kita dapat
mengandaikan kawasan itu layaknya wadah dan regionalisme adalah isinya; kawasan
itu layaknya jasad manusia sementara regionalisme adalah ruhnya. Namun, karena
regionalisme ini adalah suatu ide yang sifatnya abstrak dan tidak berwujud,
sulit untuk mendeteksi keberadaan regionalisme di suatu wilayah. Untuk
mempermudah mengenali regionalisme yang tumbuh di suatu kawasan tertentu,
terdapat 2 hal yang harus diperhatikan. Pertama, kita dapat melihat
regionalisme dari proses-proses interaksi yang berlangsung di antara para
aktor, baik negara maupun non-negara; kedua, kita dapat menggunakan
pendekatan-pendekatan teori dalam memahami keberlangsungan regionalisme. Untuk
lebih memperjelas, regionalisme dapat dianalogikan sebagai perahu regional,
dimana negara-negara yang berada di suatu wilayah tertentu seperti berada di
dalam perahu yang sama dalam mengarungi kehidupan. Jika ingin selamat, alangkah
lebih baik jika negara-negara tersebut tidak saling menjatuhkan, lebih mampu
menahan ego masing-masing, dan saling bekerja sama satu sama lain dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidup masing-masing.
Regionalisme sering
dianalisis dengan melihat ikatan sosial (sosial
cohesiveness) berupa ikatan etnis, ras, bahasa, agama, budaya, sejarah, dan
kesadaran akan warisan bersama; ikatan ekonomi (economic cohesiveness) yaitu pola-pola perdagangan dan
interdependensi ekonomi; ikatan politik (politic
cohesiveness) berupa tipe rezim, ideology dan lainnya; serta ikatan
organisasional (organizational
cohesiveness) dengan melihat keberadaan atau eksistensi dari suatu
institusi regional secara formal.
Tekanan-tekanan politis (power) dan ekonomi (merkantilisme)
sistem internasional adalah faktor utama yang dilihat kaum neorealis
berkontribusi menumbuhkembangkan regionalisme. Bagi kaum neorealis,
regionalisme sama saja dengan aliansi dan aliansi merupakan salah satu bentuk
kerja sama
dalam hubungan internasional. Para aktor saling melakukan tawar-menawar (bargaining) satu sama lain, melakukan
koordinasi strategi-strategi, dan berupaya mencari kesepakatan mengenai
tujuan-tujuan bersama meskipun dengan tingkat kepentingan nasional yang
berbeda-beda.
a. Regionalisasi
(Regionalization)
Regionalisasi
merujuk pada proses pertumbuhan integrasi kemasyarakatan dalam suatu wilayah
dalam proses interaksi sosial dan ekonomi yang cenderung tidak terarah. Proses
ini bersifat alami dimana dengan sendirinya negara-negara yang saling
bertentangga, yang secara geografis berdekatan, melakukan serangkaian keraj
sama guna memenuhi berbagai kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi sendiri.
Terdapat dua istilah regionalisme dalam proses ini, yaitu Soft Regionalism dan Transnational
Regionalism.
Soft Regionalism mengarah pada proses
otonom meningkatnya derajat interdependensi ekonomi yang lebih tinggi di
wilayah geografis tertentu. Dorongan yang paling penting dalam proses
terbentuknya regionalisasi ekonomi berasal dari pasar, arus perdagangan dan
investasi pribadi, dan dari kebijakan serta keputusan perusahaan-perusahaan.
Contohnya regionalisme di kawasan Asia-Pasifik yang terbentuk karena
berkembangnya jaringan (network)
bisnis regional dan firma-firma transnasional.
Transnational Regionalism
mencakup meningkatnya arus mobilitas orang-orang; perkembangan jejaring (network) sosial yang kompleks dan
melalui berbagai saluran dimana ide-ide, sikap-sikap politis dan aliran-aliran
pemikiran tersebar dari satu area ke area lain dengan mudah; serta terciptanya
suatu masyarakat sipil regional transnasional.
Dalam
proses ini ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu a) regionalisasi tidak
didasarkan pada kebijakan secara sadar dari negara maupun kelompok negara,
maupun mensyaratkan pengaruh tertentu terhadap hubungan di antara negara-negara
di dalam kawasan, dan b) pola-pola regionalisasi tidak perlu terpaku pada
batas-batas dari negara. Migrasi, pasar dan jaringan sosial mungkin mengarah
pada meningkatnya interaksi negara-negara dan menciptakan batas imajiner baru
dari suatu region.
b. Kesadaran
dan Identitas Regional (Regional Awareness
and Identity)
Semua
kawasan bisa dipahami dengan istilah cognitive
region, yang berarti bahwa sama halnya dengan bangsa, maka suatu kasasan
bisa dibayangkan seperti komunitas (masyarakat) yang berada pada suatu peta
mental yang menonjolkan segi-segi tertentu dan mengabaikan hal lainnya.
Artinya, sebuah kawasan itu hanyalah pengistilahan, pelabelan, pendefinisian
orang saja terhadap wilayah geografis yang pengelompokannya didasarkan pada
ciri-ciri tertentu. Proses kesadaran regional menekankan pada a) bahasa dan
retorika; b) pada wacana tentang regionalisme dan berbagai proses politik
dimana berbagai definisi tentang regionalisme dan identitas regional terus
didefinisikan dan didefinisikan kembali; dan c) pada pemahaman umum serta
pengertian yang diberikan pada kegiatan politik yang dilakukan oleh para aktor
yang terlibat.
Kesadaran
regional adalah persepsi bersama tentang rasa memiliki pada suatu komunitas
tertentu dengan faktor internal sebagai pengikat, dan sering didefinisikan
dalam kerangka kesamaan budaya, sejarah atau tradisi agama. Kesadaran regional
juga sering didefinisikan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan hal atau
pihak lain yang berasal dari luar komunitas tersebut yang sifatnya adalah
eksternal, terutama yang menyangkut masalah ancaman keamanan.
c. Kerja Sama
Regional Antar Negara (Regional
Interstate Cooperation)
Merujuk
pada aktivitas kerja sama
regional yang menunjukkan interdependensi termasuk negosiasi-negosiasi
bilateral sampai pembentukan rezim yang dikembangkan untuk memelihara
kesejahteraan, meningkatkan nilai-nilai bersama, serta memecahkan masalah
bersama terutama yang timbul dari meningkatnya tingkat interdependensi
regional. Kerja sama
regional mungkin mengarah pada terciptanya institusi formal, namun dengan struktur
longgar, berupa pertemuan-pertemuan rutin yang menghasilkan aturan-aturan
sekaligus dengan mekanisme pelaksanaan dan persiapan untuk menindaklanjuti
kegiatan tersebut.
Kerja sama tersebut bisa
memiliki tujuan yang sangat luas. Di satu sisi, kerja sama bisa menjadi
sarana dalam merespon berbagai tantangan eksternal dan menempatkan posisi
regional dalam berbagai institusi internasional atau forum-forum negosiasi. Di
sisi lain, kerja sama
bisa dikembangkan guna menjamin tercapainya berbagai tujuan, nilai-nilai
bersama, atau memecahkan berbagai persoalan bersama, terutama permasalahan yang
muncul dengan meningkatnya derajat interdependensi regional. Dalam bidang
keamanan, kerja sama
bisa beragam bentuknya- mulai dari stabilisasi balance of power secara regional, penanaman nilai-nilai kepercayaan
bersama, hingga negosiasi pembentukan rezim keamanan.
d. Integrasi
Regional yang Didukung Negara (State
Promoted Regional Integration)
Salah
satu subkategori penting dalam kerja
sama
regional adalah integrasi ekonomi regional. Integrasi regional melibatkan
pembuatan kebijakan khusus oleh pemerintah yang disusun untuk mengurangi atau
menghilangkan hambatan-hambatan dalam pertukaran barang, jasa dan orang-orang.
Tahap awal integrasi seperti yang telah dijelaskan, cenderung berpusat pada
pengurangan hambatan perdagangan seperti pembentukan kesepakatan penentuan
tarif bersama secara internal dan pemudahan mobilisasi orang serta barang;
regulasi pasar dan pengembangan kebijakan bersama baik dalam tataran mikro
maupun makro.
e. Kohesi
Regional (Regional Cohesion)
Kohesi
bisa dipahami dalam dua hal, yaitu a) ketika kawasan memainkan suatu peran
tertentu dalam hubungan di antara negara-negara (atau aktor utama lainnya) dari
kawasan tersebut dengan negara-negara lainnya di dunia, dan b) ketika kawasan
membentuk dasar pengaturan bagi kebijakan di dalam kawaan meliputi isu-isu yang
cukup luas. Kohesi regional didasarkan pada berbagai model, salah satunya
adalah pembentukan organisasi regional atau supranasional secara bertahap dalam
konteks semakin mendalamnya integrasi. Model yang kedua adalah pembentukan
seperangkat tatanan atau rezim (menyangkut peraturan, norma, dan nilai-nilai)
yang tumpang tindih dan sangat kuat pengaruhnya terhadap negara-negara anggota.
Model yang ketiga adalah perkembangan tatanan konstitusional dimana pembentukan
dan perkembangan kohesi regional dimotori oleh kesepakatan penyusunan charter
atau piagam tertentu. Keempat, kohesi mungkin didasarkan pada keberadaan
hegemon regional yang kuat – dengan atau tanpa keberadaan institusi regional
yang kuat – yang mempengaruhi kebijakan luar negeri negara-negara yang ada di
dalam pengaruhnya dan juga mempengaruhi pilihan-pilihan kebijakan domestik
negara-negara tersebut dalam cakupan isu atau bidang yang diperbolehkan untuk
campur tangan.
B. Organisasi
dan Kerja sama
Regional
Organisasi regional adalah
salah satu dimensi yang ada di dalam regionalisme dan sekaligus telah diikat
oleh kesamaan tujuan berdasarkan ikatan geografis, sosial, budaya, ekonomi atau
politik dan struktur formal yang memberikan arahan pada berbagai kesepakatan
intergovernmental secara formal. Pada akhir tujuannya, keterbukaan organisasi
bagi semua negara-negara tidak mempengaruhi ciri global mereka ketika
tujuan-tujuan mereka mengacu pada nilai universalitas. Suatu organisasi
regional hanya dimaksudkan khusus pada kategori negara-negara yang cakupannya
lebih rendah dari tatanan global. Dan kerja sama yang bersifat
regional memiliki beragam bentuk, seperti a) kerja sama fungsional mengacu
pada area-area isu terbatas yang disepakati oleh negara-negara guna bekerja sama dalam isu-isu
tertentu, misalnya dalam masalah keamanan ataupun lingkungan; b) kerja sama dalam masalah luar
negeri dan kebijakan mengenai isu apapun, yang berarti bahwa para pemerintah
secara sistematis saling memberitahu dan berkonsultasi satu sama lain, mencoba
menerapkan posisi bersama dalam organisasi dan bahkan mungkin mengambil
tindakan secara bersama.
Proses kerja sama
negara-negara di dunia ini tidak sama merata. Masing-masing memiliki keunikan
dan kohesi sendiri. Namun secara umum, tingkat-tingkat kerja sama regional dapat
dilihat menjadi lima jenis; pertama, asosiasi yang merupakan
pertemuan-pertemuan negara untuk membahas isu tertentu, namun belum sampai pada
tingkat merumuskan aturan bersama. Misalnya seperti summit meeting, annual meeting dan sejenisnya. Kedua, koordinasi
yang merupakan pertemuan antar negara yang sudah terdapat kesepakatan dari
masing-masing negara untuk saling membantu dalam menangani isu-isu tertentu.
Koordinasi adalah sebuah cara untuk membuat kebijakan bersama di antara para
aktor yang mempunyai kompetensi secara legal (hukum) atau formal mengenai
aspek-aspek kebijakan tertentu.
Ketiga, harmoniasi yang merupakan suatu tingkatan dimana masing-masing negara
saling melakukan adaptasi dan penyesuaian-penyesuaian terhadap kebijakan luar
negeri negara-negara lain, namun belum sampai terdapat kesepakatan menyangkut
masalah kewenangan otoritas, norma-norma yang akan dipakai bersama, dan
mengenai struktur kerja sama.
Teknik untuk melakukan harmonisasi adalah dengan mengadakan riset, peninjauan
kembali, uji kebijakan, dan forum. Keempat, integrasi dimana kerja sama sudah mengarah
pada pembentukan norma bersama serta terwujud dalam sebuah organisasi regional
yang diserahi otoritas dan wewenang.
2.
Regionalisme
di Asia Tenggara
Asia Tenggara merupakan sub
kawasan Asia yang terdiri dari negara Indonesia, Filipina, Thailand, Kamboja,
Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Laos, Myanmar, dan Vietnam. Asia
Tenggara berada di posisi yang strategis yakni berada di sebelah timur India dan
di sebelah selatan Tiongkok, dimana kedua wilayah ini merupakan negara yang
paling padat penduduknya di dunia sehingga bisa menjadi potensi pasar yang
besar. Asia Tenggara dianugerahi sumber daya alam yang sangat melimpah yang
menjadi prioritas utama sumber mata pencaharian penduduknya, selain itu, Asia
Tenggara juga diberkahi dengan banyak suku yang membawa serta adat istiadat,
budaya, dan pola-pola kehidupan yang membuat Asia Tenggara menjadi kaya akan
keberagaman.
Untuk pertama kalinya,
negara-negara Asia Tenggara mengenal organisasi regional pada saat terbentuknya
South East Asia Treaty Organization
(SEATO). Organisasi ini dibentuk sebagai upaya Amerika Serikat untuk membendung
pengaruh komunis di Asia Tenggara, terutama pengaruh dari Uni Soviet melalui
Tiongkok. Sifat pembentukannya tidak berasal dari regional sendiri, tetapi
merupakan prakarsa dari luar kawasan Asia Tenggara dan tergolong dalam kategori
aliansi.
Organisasi regional yang
pertama secara sah yang dibentuk oleh negara-negara di kawasan ini adalah Association of Southeast Asia (ASA) pada
tahun 1961. Negara anggotanya adalah Malaysia, Filipina, dan Thailand. Namun
organisasi ini tidak bertahan lama karena pecahnya konflik Filipina dan
Malaysia atas status daerah Sabah yang diklaim sebagai wilayah Filipina.
Konflik ini mendorong terbentuknya Maphilindo (Malaysia, Filipina, dan
Indonesia) yang akhirnya juga menghadapi akhir yang sama.
Selanjutnya Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand melakukan
berbagai pertemuan konsultatif secara intens sehngga disepakati suatu rancangan
Deklarasi Bersama (Joint Declaration)
yang isinya mencakup kesadaran perlunhya meningkatkan saling pengertian untuk
hidup bertetangga secara baik dan membina kerja sama di antara
negara-negara di kawasan yang terikat oleh pertalian sejarah dan budaya.
Kemudian pada 5-8 Agustus
1967, lima menteri luar negeri Asia Tenggara, yaitu Adam Malik (Inodnesia), Tun
Abdul Razak (Malaysia), Thanat Khoman (Thailand), Rajaratnam (Singapura), dan
Narciso Ramos (Filipina) menindaklanjuti Deklarasi Bersama dengan melakukan
pertemuan dan penandatanganan Deklarasi ASEAN (The ASEAN Declaration) atau yang dikenal dengan Deklarasi Bangkok (Bangkok Declaration). Isi deklarasi
tersebut adalah a) mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan
perkembangan kebudayaan di kawasan Asia Tenggara; b) meningkatkan perdamaian
dan stabilitas regional; c) meningkatkan kerja sama dan saling
membantu untuk kepentingan bersama dalam bidang ekonomi, sosial, teknik, ilmu
pengetahuan dan administrasi; d) memelihara kerja sama yang erat di
tengah-tengah organisasi regional dan internasional yang ada; dan e)
meningkatkan kerja sama
untuk memajukan pendidikan, latihan, serta penelitian di kawasan Asia Tenggara.
Dengan ditandatanganinya Deklarasi
Bangkok tersebut, suatu organisasi kawasan yang diberi nama Perhimpunan
Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association
of Southeast Asian Nations/ASEAN) telah resmi berdiri. Pada awalnya,
organisasi ini bertujuan untuk menggalang kerja sama antar negara anggota
dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi, mendorong perdamaian dan
stabilitas wilayah, serta membentuk kerja sama dalam berbagai bidang kepentingan
bersama.
Pada perkembangan berikutnya,
organisasi ini membuat berbagai agenda yang signifikan di bidang politik
seperti Deklarasi Kawasan Damai, Bebas, dan Netral (Zone of Peace, Freedom, and Neutrality Declaration/ZOPFAN) yang
ditandatangani tahun 1971. Kemudian, pada tahun 1976 lima negara anggota ASEAN
tersebut juga menyepakati Traktat Persahabatan dan Kerja Sama (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia/TAC) yang menjadi
landasan bagi negara-negara ASEAN untuk hidup berdampingan secara damai.
Dalam bidang ekonomi, Agreement on ASEAN Preferential Trading Area
(PTA) berhasil disepakati dan ditandatangani di Manila pada 24 Februari
1977 yang menjadi landasan untuk mengadopsi berbagai instrument dalam
liberalisasi perdagangan on a preferential basis. Pada perkembangan
selanjutnya, Agreement on the Common
Effective Preferential Tariff (CEPT) Scheme
for the ASEAN Free Trade Area berhasil disepakati di Singapura pada 28
Januari 1982. Kemajuan tersebut mendorong negara-negara lain di Asia Tenggara
bergabung menjadi anggota ASEAN (Brunei Darussalam pada 7 Januari 1984; Vietnam
pada 29-30 Juli 1995; Laos dan Myanmar pada 23-28 Juli 1997 serta Kamboja pada
30 April 1999).
ASEAN telah mengalami
perkembangan dari masa ke masa sesuai dengan cita-cita para pendiri ASEAN untuk
menjalin persahabatan dan kerja
sama
dalam menciptakan wilayah yang aman, damai, dan makmur. Cita-cita tersebut
kemudian dipertegas dalam kesepakatan Bali
Concord I pada tahun 1976. Dalam kesepakatan ini, para pemimpin ASEAN
menyepakati program aksi yang mencakup kerja sama di bidang politik,
ekonomi, sosial, budaya dan penerangan, keamanan serta peningkatan mekanisme
ASEAN. Kesepakatan tersebut menandai tahapan penting bagi kerangka kerja sama ASEAN. Dalam
perkembangan selanjutnya, ASEAN bersepakat untuk membentuk suatu kasasan yang
terintegrasi dalam satu masyarakat negara-negara Asia Tenggara yang terbuka,
damai, stabil dan sejahtera, saling peduli serta terikat bersama dalam
kemitraan dinamis di tahun 2020. Harapan tersebut dituangkan dalam Visi ASEAN
2020 yang ditetapkan oleh para kepala negara ASEAN pada Konferensi Tingkat
Tinggi ASEAN (KTT ASEAN) di Kuala Lumpur tanggal 15 Desember 1997. Untuk
mewujudkan harapan tersebut, ASEAN mengesahkan Bali Concord II pada KTT ke-9 ASEAN di Bali tahun 2003 yaitu
menyepakati pembentukan masyarakat ASEAN (ASEAN
Community) yang dipertegas kembali pelaksanaannya pada KTT ke-12 pada
Januari 2007. Pada KTT ini, ditandatangani pula Deklarasi Cebu tentang
percepatan pembentukan ASEAN Community pada tahun 2015. ASEAN Community terdiri dari 3 pilar, yakni ASEAN Political-Security Community (APSC), ASEAN Economic Community (AEC), dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC). Ketiga pilar tersebut
terikat secara erat dan saling memperkuat untuk mewujudkan perdamaian,
kestabilan, dan kesejahteraan bersama yang abadi.
3.
Studi
Kasus: Implementasi ASEAN
Political-Security Community (APSC) di Wilayah Asia Tenggara
Pembentukan masyarakat
politik-keamanan ASEAN (APSC) ditujukan untuk mempercepat kerja sama politik dan
keamanan di ASEAN dalam mewujudkan perdamaian di kawasan regional dan global.
APSC bersifat terbuka dan berdasarkan pada pendekatan keamanan yang komprehenif
serta tidak ditujukan untuk membentuk suatu pakta pertahanan/aliansi militer
tetapi kebijakan luar negeri bersama. APSC terdiri atas tiga karakteristik
utama, yaitu a) masyarakat yang mengacu pada pertauran dengan kesamaan nilai
dan norma; b) kawasan yang kohesif, damai, dan berdaya tahan tinggi dengan
tanggung jawab bersama untuk menciptakan keamanan komprehensif; dan c) kawasan
yang dinamis dan berpandangan keluar. Koordinasi kerja sama APSC dilakukan
melalui Dewan Keamanan Masyarakat Politik-Keamanan ASEAN (ASEAN Political-Security Community Council). Pada APSC Council ini,
setiap negara biasanya diwakili oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum,
dan Keamanan sebagai ketua dan Menteri Luar Negeri sebagai wakilnya.
APSC Council bertugas untuk
a) menjamin pelaksanaan keputusan-keputusan KTT di bidang politik-keamanan; b)
mengkoordinasikan kerja sama
berbagai sektor yang berada di lingkup kerja sama politik-keamanan
dan isu-isu yang berakitan, serta c) menyerahkan laporan dan rekomendasi kepada
KTT ASEAN mengenai hal yang terkait dengan perkembangan politik-keamanan
wilayah Asia Tenggara. Perwujudan APSC didasarkan pada berbagai instrument
politik ASEAN yang telah ada seperti Piagam ASEAN, ZOPFAN, TAC, dan piagam PBB
serta prinsip-prinsip hukum internasional terkait lainnya.
B. Isu
Politik-Keamanan ASEAN (APSC): Keamanan Maritim (Maritime Security) dan Peran Indonesia dalam Menanggulangi Isu
Bersama ASEAN.
Declaration on ASEAN Concord II 2003 yang dibentuk di Bali,
menekankan bahwa isu maritime bersifat lintas batas negara, sehingga
penanganannya harus dilakukan secara menyeluruh, terintegrasi dan komprehensif.
Perairan di Asia Tenggara dan Laut Tiongkok Selatan memiliki arti penting bagi
perekonomian, perdagangan, transportasi, dan komunikasi seluruh negara anggota
ASEAN serta kekuatan-kekuatan maritime global. Selain itu, kawasan Asia
Tenggara dinilai memiliki potensi konflik yang berkaitan dengan masalah
maritime dan rentan terhadap ancaman keamanan maritim yang bersifat
non-tradisional. Oleh karena itu, isu maritime perlu ditangani secara sinergis
oleh berbagai ASEAN sectoral bodies,
sesuai fokus dan kewenangannya serta perlu dikoordinasikan secara komprehensif.
Kerja sama maritim serta
pembahasan isu-isu maritim dalam kerangka ASEAN dilakukan dalam berbagai
mekanisme, diantaranya ASEAN Regional
Forum (ARF), ASEAN Defence
Ministerial Meeting (ADMM), ASEAN
Defence Ministerial Meeting Plus (ADMM-Plus), ASEAN Maritime Forum (AMF) dan Expanded
ASEAN Maritime Forum (EAMF), serta sekitar 13 mekanisme ASEAN lainnya
seperti ASEAN Foreign Ministers Meeting
(AMM), ASEAN Ministers Meeting on
Transnational Crime (AMMTC), ASEAN
Fisheries Consultative Forum (AFCF), ASEAN-Mekong
Basin Development Cooperation (AMBDC), ASEAN
Cruise Tourism, Head of ASEAN Coast Guards Meeting, ASEAN Conectivity
Coordinating Committee (ACCC), ASEAN
Ministerial Meeting on Environment, ASEAN Ministerial Meeting on Agriculture
and Forestry (AMAF), Meeting of the
ASEAN Tourism Ministers (MATM), ASEAN
Connectivity Coordinating Committee, ASEAN Transport Ministers Meeting
(ATM), ASEAN Law Ministers Meeting
(ALAWMM) / ASEAN Senior Law Officials Meeting
(ASLOM), dan lain-lain.
Mengingat signifikansi isu
maritim di kawasan Asia Tenggara, Indonesia pada tahun 2010 menjadi pemrakarsa
pembentukan sebuah forum dialog isu-isu maritim antar negara anggota ASEAN yang
disebut AMF, dan forum ini menjadi sarana untuk berbagi informasi serta
eksplorasi kerja sama
ASEAN di bidang maritim. Mengingat keterkaitan isu maritim ASEAN dengan kawasan
dan negara-negara lainnya di kawasan, pada tahun 2012 telah dibentuk pula Expanded AMF yang menjadi forum dialog
antara negara-negara ASEAN dan mitra wacara ASEAN. Dalam praktiknya, AMF dan
EAMF membahas antara lain sinergi isu kerja sama maritim di bawah
badan ASEAN. Topik-topik lain yang juga dibahas dalam forum ini adalah
penyelesaian sengketa maritim, penanganan IUU
Fisihing, Freedom of Navigation
dan pelaksanaan aktivitas militer di EEZ.
Selama keketuaan ASEAN 2011,
Indoensia terus memainkan peran penting dalam mendorong pengembangan kerja sama maritim di kawasan
Asia Tenggara, khususnya melalui mekanisme AMF. Setelah menyelenggarakan
pertemuan ke-1 AMF di Surabaya pada 28-29 Juli 2010, Indonesia terus mendorong
penguatan AMF melalui partisipasi aktif dalam pertemuan ke-2 AMF di Thailand
pada 17-19 Agustus 2011. Seiring dengan semakin meningkatnya relevansi kerja sama maritim di kawasan
dan berkembangnya minat negara di luar kawasan untuk bergabung dengan AMF, pada
KTT ke-19 ASEAN di Bali, 17 November 2011, para pemimpin ASEAN menyambut baik
usulan perluasan AMF menjadi EAMF dengan mengikutsertakan negara non-ASEAN di
kawasan Asia Timur. Hal ini dilakukan untuk memajukan semangat dan kerja sama maritim di kawasan
dengan tetap menjaga sentralitas ASEAN.
Dalam rangka memperkuat kerja sama maritim, Indonesia
berpandangan bahwa kerja
sama
praktis dan konkrit dapat mencakup tema dan isu seperti freedom of navigation, search and rescue, marine ecosystem and bio-diversity, marine environmental
concerns, sea piracy, ataupun combating
transnational crime at sea. Hal ini sangat krusial dalam rangka mengubah
cara pandang terhadpa isu laut yang bukan semata sebagai arena yang penuh
dengan pertentangan dan konflik, tetapi juga berpotensi sebagai arena kerja sama yang saling
menguntungkan.
Peran penting Indonesia dalam
kerja sama
di bidang keamanan maritime telah mendapat pengakuan dalam kerangka ARF. Hal
ini terutama terlihat dari peran Indonesia sebagai co-chair dari ARF Intersessional Meeting (ISM) on
Maritime Security selama 6 tahun yang telah mendorong peserta ARF dalam
memajukan kerja sama
di bidang ini.
C. Kepentingan
Indonesia dalam APSC.
Kebijakan politik luar negeri
Indonesia dalam mendorong pembentukan ASEAN
Community dilandasi oleh kepentingan nasionalnya. Sebagaimana tercantum
dalam pembukaan UUD 1945, maka kepentingan nasional Indonesia adalah melindungi
kedaulatan negara dan menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, melindungi keselamatan dan kehormatan bangsa serta ikut serta secara
aktif dalam usaha-usaha perdamaian dunia. Kepentingan ini dirumuskan dalam
upaya Indonesia mengembalikan posisinya dalam konstelasi politik regional dan
internasional.
Indonesia, sebagai salah satu
negara yang sangat giat menyuarakan kerja sama basis politik dan keamanan karena
tujuan politik luar negerinya berupa mewujudkan dan memelihara lingkungan
kawasan yang stabil, aman dan mengarah pada kemakmuran bersama; mencoba untuk
menempatkan ASEAN sebagai pilar utama politik luar negerinya. Hanya dengan
lingkungan kawasan yang kondusiflah Indonesia dapat berkonsentrasi untuk menata
kehidupan politik dan ekonominya.
Dengan posisi Indonesia yang
merupakan negara perumus ASEAN dan negara yang cukup aktif dalam menyelesaikan
isu-isu APSC, hal ini tentu akan menjadi bargaining
position yang akan meningkatkan meningkatkan bobot Indonesia di mata dunia.
Secara tidak langsung, pada akhirnya Indonesia akan menjadi negara yang lebih
disegani dan dihormati dalam sistem internasional.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
A.
Regionalisme yang
berdasarkan kedekatan geografis yang dapat diartikan sebagai adanya koordinasi
atau kerja sama dalam bidang ekonomi dan politik oleh negara – negara yang
secara geografis berdekatan. Berdasarkan faktor non-geografis, regionalisme dapat diartikan
sebagai aktivitas government dan non-government.
B. Regionalisme
sering dianalisis dengan melihat ikatan sosial (sosial cohesiveness) berupa ikatan etnis, ras, bahasa, agama,
budaya, sejarah, dan kesadaran akan warisan bersama; ikatan ekonomi (economic cohesiveness) yaitu pola-pola
perdagangan dan interdependensi ekonomi; ikatan politik (politic cohesiveness) berupa tipe rezim, ideology dan lainnya;
serta ikatan organisasional (organizational
cohesiveness) dengan melihat keberadaan atau eksistensi dari suatu
institusi regional secara formal.
C.
Proses
regionalism terdiri atas regionalisasi, kesadaran dan identitas regional, kerja
sama regional antar negara, integrasi regional yang didukung negara serta
kohesi regional.
D.
Salah satu
contoh dari regionalism adalah kerja sama regional Asia Tenggara yaitu ASEAN.
E.
ASEAN memiliki
tiga pilar ASEAN Community, salah
satunya adalah ASEAN Political-Security
Community (APSC) yang menjadi fokus penelitian ini.
F.
Indonesia, sebagai
salah satu negara yang sangat giat menyuarakan kerja sama basis politik dan
keamanan karena tujuan politik luar negerinya berupa mewujudkan dan memelihara
lingkungan kawasan yang stabil, aman dan mengarah pada kemakmuran bersama;
mencoba untuk menempatkan ASEAN sebagai pilar utama politik luar negerinya.
Hanya dengan lingkungan kawasan yang kondusiflah Indonesia dapat berkonsentrasi
untuk menata kehidupan politik dan ekonominya.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
dan Jurnal
Mansfield, Edward dan Helen Milner.
1999. The New Wave of Regionalism.
University of Arizona: MIT Press, hal. 589-627.